Seorang wartawan senior dan kolumnis kesenian yang aku suka baca tulisannya, pernah bilang begini:
“Kolektor lukisan Indonesia yang jumlahnya sedikit dan ‘masih belajar’ itu, kerap membeli dan mengoleksi lukisan berdasarkan pengelihatan telinganya”.
Maksudnya, berdasarkan ‘pengetahuan’ mendengar, bukan melihat atau berdasarkan selera (jika ada) estetika visual atau gagasan sang pelukis, tapi,…kata si Anu pelukis itu sedang naik daun, kata kritikus (biasanya kritikus kondang atau minimal dikenalnya) anu, lukisan si anu menarik, lagi hit, lagi trend dan seterusnya…
Apakah salah, “melihat dengan telinga itu”?
Yaa,…nggak. Hla wong, duit itu duitnya sendiri. Lagian, pelukis tak bertanya adakah uangnya halal atau tidak. Lukisannya pun setelah dibeli, mau ditaruh di dinding ruang tamu rumah, kamar hotel, ruang makan atau dinding WC, tak ada yg protes.
“Pengetahuan” (kalau boleh dibilang begitu) kolektor lukisan negri ini pun masih rata-rata. Misalnya: Lukisan itu yaa,…yang terbuat dari material cat minyak di atas canvas. Masih lumayan, jika akrilik dianggap ‘cat minyak’, meski akrilik sesungguhnya adalah cat air (water base), bedanya, akrilik, meski untuk mengencerkannya menggunakan air, setelah kering tak lagi luntur jika terkena air, seperti cat air.
Cat air dan pensil entah kenapa, sudah ‘terlanjur’ menjadi senilukis yang tingkatnya berada di bawah cat minyak. Ada alasan standar yang (rasanya) tak ada hubungannya dengan kesenian, bahwa cat air dan pensil-karena di atas kertas-tak bisa bertahan lama seperti cat minyak di atas canvas.
‘Teori’ itu sudah terbantah, ketika di Belanda ditemukan setumpuk coretan, sketsa dan lukisan-lukisan cat air di atas kertas Vincent van Gogh di sebuah rumah tua yang umurnya sudah lebih dari seratus tahun dan…masih utuh!…
Ada juga peristiwa lucu tentang seni drawing atau seni gambar pensil (kritikus seolah tak ‘rela’ gambar dengan pensil disebat senilukis, haha).
Pada sebuah balai lelang, ditawarkanlah karya masterpiece seorang pelukis dengan media pensil di atas kertas yang sangat terkenal.
Entah karena para calon pembeli-yang sedang ‘belajar’ jadi kolektor itu tak kenal dengan sang pelukis, tak kenal denn karya pensil itu atau pemandu lelang menaruh harga terlalu mahal, maka tak seorang pun yang nengajukan penawaran. Sepiii. Akhirnya lukisan masterpiece dengan media pensil itu disimpan kembali.
Lalu sang pemandu lelang mengeluarkan karya pelukis yang sama terbuat dari media cat minyak di atas canvas. Tapi karya itu biasa saja, jika tak ingin disebut ‘karya pasaran’.
Eeh,…lukisan itu terjual dengan harga yang lumayan tinggi…
(Aries Tanjung)