MENULIS ITU ASYIK (13): SUDUT PANDANG
Oleh BELINDA GUNAWAN
Di bagian lalu kukatakan, menulis dengan POV orang ketiga itu enak. Kenapa? Sebab kita kita bisa “seenaknya” bicara tentang orang lain dan bahkan mewakili dia mengungkapkan pikiran dan perkataan. Kita bisa: membuat si tokoh berinteraksi, bertengkar, berargumentasi, berkasih sayang dengan orang lain. Pendek kata, kita bisa membuat tokoh-tokoh itu mengalami banyak hal. Seakan-akan kitalah, si penulis, yang mengatur hidup mereka bagaikan dalang yang bercerita melalui sekotak wayangnya!
Itulah kelebihan menulis menggunakan sudut pandang ini. Selain bertindak bagaikan dalang, ia juga tidak terpaku pada satu tempat saja melainkan bisa “ikut” dengan tokohnya ke mana pun ia pergi, di mana pun mereka berada.
Kekurangannya, penulis tidak bisa terlalu menukik dan melambung ketika berkisah tentang pikiran dan perasaan tokohnya, seperti ketika memakai POV orang pertama.
Berikut kuposting ulang sebuah fiksi mini dengan POV orang ketiga. Super pendek, jadi silakan kembangkan imajinasi….
SOFA
Pulang ke rumah malam itu, pintu kamar dikunci dari dalam. Johan terpaksa menstarter motornya lagi, dan brrr… ke rumah ibunya.
Besoknya ketika kembali Johan disambut cemberut. Sia-sia menjelaskan, dia pulang larut karena ketemu teman yang berpeluang memberi proyek, lalu mereka ngobrol sampai lupa waktu. Pasti istrinya akan bilang, “Kan bisa nelpon?” Dan percuma juga bilang lowbatt.
“Segitu marahnya kau, Leya, sampai tega mengunci pintu kamar.”
“Pintu memang kukunci. Tapi kau kan nggak perlu pulang ke rumah ibumu?”
“Lantas aku tidur di mana?”
“Papaku dulu, kalau Mama ngambek, tidur di sofa.”
“Tapi Ley… Kita belum punya sofa.”
“Oh?” Leya mendadak tersadar. Mereka sudah pindah ke rumah kontrakan. Di situ hanya ada tiga kursi plastik. Sofa? Johan bilang, nanti tunggu tabungan cukup.
Sekarang lelaki itu berpikir, apakah Leya tidak terlalu muda untuk menikah? Apakah mereka tidak terlalu cepat keluar dari rumah ortu Leya, demi gengsinya sebagai menantu lelaki?
“Aku marah kau pulang telat, sebab aku ingin kita merayakan sesuatu,” ujar Leya, menepuk-nepuk perutnya. “Ada Johan atau Leya junior nih.”
Jeggeeeerrrr!!! Di benak Johan, bayangan sofa segera berganti jadi boks bayi.