Penyakit Kelompok dan Pandemi

Pada 1300-an wabah menyerang Eropa. Penyakit menular seperti kolera, campak, cacar, polio, dan berbagai virus pernapasan menjadi masalah kesehatan yang luar biasa pada waktu itu. Epidemi ini mulai berjangkit ketika terjadi pergolakan sosial yang besar pada Abad Pertengahan, sekitar abad ke-15. Penderitaan baru ini disebut ‘penyakit kelompok’. Penyakit ini timbul bersamaan dengan perubahan sosial secara besar-besaran, manusia dalam jumlah besar datang serentak ke suatu daerah. Pada saat yang sama manusia melakukan ekspedisi pelayaran yang jauh dengan harapan akan menemukan harta terpendam. Tetapi setelah mereka berbaur dengan penduduk yang mereka temui dan belum dikenal, penduduk lokal terkena penyakit baru yang belum mereka kenal.

Para perantau membawa penyakit yang tak dikenal ke pulau-pulau yang mereka singgahi dan memindahkan penyakit baru itu ke rumah. Tak ada kekebalan khusus terhadap kuman baru. Kekebalan tubuh sangat rendah karena gizi buruk ditambah lingkungan hidup yang juga tidak sehat. Kuman-kuman berkembang biak dan epidemi yang belum pernah terjadi mulai membinasakan sebagian besar penduduk. Seorang peneliti Prancis pada abad ke-16 menyatakan, banyak penyakit kemudian mengganggu negerinya. Hampir tidak ada yang terhindar dari infeksi, seperti penyakit dipteri, kolera, tipus, cacar, flu, influenza, batuk rejan, dan lain-lain.

Seorang perantau, Alonso Montecuccoli, pada 2 September 1603 menulis bahwa wabah bergerak sepanjang jalur perdagangan. Penyakit baru ini berkelana ke seluruh dunia pada abad ke-16 sampai ke-19. Dari epidemi berubah menjadi pandemi. Wabah datang dari Cina dan India ke Eropa melalui Konstantinopel dan Mesir. Penyakit tuberkulosa dan kolera tiba di Barat melalui India pada abad ke-18. Tuberkulosa adalah penyebab kematian terbesar pada abad ke-19.

Kematian akibat penyakit menular ditanggulangi dengan membuat lingkungan menjadi lebih bersih dan sehat, serta meningkatkan kekebalan tubuh penduduk terhadap penyakit. Kemajuan di bidang pertanian pada abad ke-18 dan ke-19 membuat orang bisa mendapatkan makanan bergizi. Orang yang mendapat gizi lebih baik akan memiliki kekebalan tubuh yang lebih baik. Tingkat kematian menurun sebelum ditemukan antibiotik streptomycin untuk obat tuberkulosa. Streptomycin baru dikembangkan pada 1947. Padahal sebelum 1945, telah 97 persen kasus tuberkulosa lenyap. Hanya 3% yang disembuhkan oleh perawatan kedokteran.

Betul. Streptomycin sangat ampuh mengobati tuberkulosa. Tingkat kematian akibat tuberkulosa dengan cepat menurun hingga separuhnya dan terus menurun dengan obat itu. Empat puluh tahun kemudian tuberkulosa menjadi sangat jarang di Barat. Obat berguna untuk menyembuhkan, sedangkan makanan dan lingkungan yang sehat lebih berperan dalam mencegah penyakit.( Ratih Poeradisastra. Sumber: buku The Healing Brain karya Robert Ornstein)

Avatar photo

About Ratih Poeradisastra

Penulis Biografi Soetaryo Sigit, Beni Wahju, Sukamdani Sahid Gitosaradjono, Prof. Dr. Zuhal MSc, Hj Sahria Hasan Askar, Drs Wisber Loeis, Netty Amaludin SG, Penulis Buku Ramuan Tradisional, Editor Biografi Soekarno M Noer, Moesliha-Aoh K. Hadimadja, , Penulis berbagai buku sejarah dan Pendiri Read & Write Creative Writing