Seide.id -Ketika sekolah dulu, aku pernah dikeluarkan dari dalam kelas oleh guruku, gara-gara pepaya. Guruku bertanya, apa yang paling bermanfaat bagi tubuh kita dari pepaya?. Para murid menjawab beragam. Mulai dari, vitamin C-nya, kulitnya, bijinya, daunnya, dll.
Ternyata semua salah. Guruku lalu menjawab sendiri pertanyaannya, tapi dengan melontarkan pertanyaan. “Jika kita mengupas pepaya, 2-3 detik kemudian, apa yang terlihat berbintik-bintik di permukaan daging buahnya?”
“Getah!”, seorang murid menjawab cepat.
“Betuuul. Nah itulah yg paling bermanfaat buat tubuh kita”
“Kalau begitu, makan aja getahnya. Pepayanya kita buang” potongku. Eeh.., aku disuruh keluar.
Dunsanak, apa yang anda ketahui, tentang pepaya? Aku duga rata-rata samalah denganku yang pengetahuan tentang pepaya serba sedikit (termasuk celetukan yang mengakibatkan aku disuruh keluar dari kelas itu, haha).
Yang aku ketahui tentang pepaya pun, sekitar bahwa pepaya itu enak dimakan ketika matang. Enak dirujak ketika mengkal. Enak dibuat sayur godog Betawi ketika muda. Daunnya pun enak ditumis atau dilalap (setelah direbus tentu).
Ketika kecil, batang daunnya kerap kami manfa’atkan buat obor. Obor? Ya, obor untuk mencari belut di malam hari di sungai kecil. Pangkal batang daun yang berlubang seperti pipa itu, diisi minyak tanah, lalu disumbat dengan kain perca yang dijuntaikan sampai ujung perca menyentuh minyak, untuk ‘mensuplai’ minyak saat kain perca dibakar sebagai obor. Minyak tanah tak tumpah karena ujung tangkai daun, tersumbat di tentang helai daun.
Atau, membuat ‘terompet’ dari tangkai daun. Ujung tangkai daun disayat memanjang dengan pisau tajam sekitar 2-3 cm. Jika ditiup, tangkai daun yg disayat tadi bergetar, menimbulkan suara merintih, seperti suara trompet ‘dikejauhan’, mirip suara oboe, atau sound trompetnya Miles Davis yang ditutup telapak tangan atau benda lain itu… (ah, jadi ingat album Miles Davis “Tutu”).
Beberapa waktu lalu, kita pernah ‘diserang deman’ karena diserbu oleh pepaya Bangkok. Thailand memang terkenal dengan rekayasa genetik buahnya. Tak cuma pepapaya sebetulnya, juga jambu kelutuk dan durian. Pepaya Bangkok terkenal besar dan tak mudah lembek. Soal rasa manis dan gurihnya sih menurutku kalah dibandingkan dengan lokal.
Sekarang, kita ‘demam lagi’ dengan pepaya California. Wuiih, jauh amat. Menurut tukang sayur langgananku, pepaya yang tumbuh di halaman rumahku adalah jenis pepaya California. Karena: Buahnya kecil-kecil, manis, tapi cenderung mudah lembek dan benyek tak ‘segaring’ pepaya Bangkok”.
Pohon pepaya yang ternyata berasal dari Mexico ini tadinya aku duga, setelah berbuah sekali, lalu tak berbuah lagi seperti pohon pisang. Ternyata kata mbak penjual jamu gendong, langganan istriku: “Jangan ditebang dulu, pak. Pepaya itu bisa dipanen sampai 3 atau 4 kali lho”.
Sehabis mengkonsumsi pepaya, biji-bijinya aku sebar begitu saja secara sporadis di beberapa tempat yang aku perkirakan akan tumbuh. Yaitu di pot-pot atau sudut-sudut halaman. Nah, sekarang di halaman mungil rumahku tumbuh banyak sekali pohon pepaya.
Beberapa batang tumbuh lebih dulu di pot. Seorang teman memberitahu bahwa jika ingin pohon pepaya tumbuh rindang tapi tak tinggi, potong saja batangnya setelah setinggi kira-kira 50-70 cm. Nanti, akan tumbuh lagi putik atau beberapa putik yang akan menjadi cabang.
Waah,…ini pengetahuan baru bagiku.
Lalu, kami mempraktekkan sarannya. Pohon pepaya yang baru tumbuh semitar 60cm, kami potong. Bahkan dipindahkan ke lahan yang diperkirakan lebih subur, terkena banyak sinar matahari. Ditambah dengan beberapa karung tanah yang sudah bercampur pupuk, kami beli dari penjual tanaman.
Sekarang, pohon-pohon pepapaya yang ketika baru setinggi sekitar 60an cm kami potes, sudah tumbuh putik-putik dedaunan atau putik-putik calon batang pepaya baru. Kami lupa menanyakan, apakah di batang-batang pepaya itu nanti juga akan tumbuh buah atau tidak. Ah, seandainya tidak pun, aku sudah cukup puas bisa mengkonsumsi dedaunanya saja.
Yang mengherankan, sekarang banyak sekali tumbuh pohon-pohon pepaya, rapat dan hampir berhimpitan. Hampir tak berjarak antara satu pohon dengan pohon lain. “Biar saja tak usah dipindahkan. kata istriku (lagi pula mau dipindahkan ke-mana lagi?). Toh nanti secara alamiah, hanya beberapa batang saja yang berhasil tumbuh besar”.
Aku heran, rasa-rasanya, biji-biji pepaya yang aku sebar itu tak tumbuh serempak. Beberapa batang saja yg tumbuh. Aku kira, aah mungkin saja yang lainnya terbawa air, dimakan serangga tau mati. Tapi kerika tanah digemburkan, ketika memindahkan pohon pepaya lain,… hlo-hlo-hlo beberapa hari kemudian tumbuh pohon pepaya secara serempak,… banyak sekali.
Adakah biji- biji itu menunggu waktu yang tepat untuk tumbuh? Entahlah.
Ngomong-ngomong soal pepaya, ada gurauan. Fokusnya bukan tentang pepaya, sih. Pepaya cuma salah-satu hal saja.
Begini. Seorang ‘bule’ ketika menginap di sebuah penginapan sederhana, tapi resik, minta disuguhi masakan tradisional. Disuguhkanlah ketupat dengan sayur godog betawi. Sang bule, sangat menikmati kelezatan suguhan itu. Dia bertanya, apa bahannya. Ketika dijawab pepaya muda, sang bule bertanya: “Bagaimana dengan pepaya tua?”. Pemilik penginapan memberi pepaya yang ranum. Si bule, tentu menikmati.
Keesokan harinya, kembali disuguhi masakan tradisional, yaitu gudeg. Si bule kembali bertanya tentang bahannya. Ketika dijawab nangka muda, si bule kembali bertanya tentang buah nangka tua. Pemilik penginapan menyuguhkan nangka ranum. Si bule, kembali manggut-manggut menikmati kelezatan nangka.
Esoknya disuguhi sayur rebung. “Ini juga…tumbuhan muda?”
“Ya mister”, jawab pemilik penginapan.
“Bagaimana dengan yang tua?.. pasti enak juga seperti pepaya dan nangka. Nanti, bawakan saya yang tua. Ini kali sang pemilik penginapan menunjuk pagar bambu yang memagari halaman penginapannya. “Tuh,…langsung digragot juga boleh!..”
(Aries Tanjung)