Aneh! Tiba-tiba saya ingin menjadi perampok. Saya lalu membayangkan merampok itu pekerjaan yang sangat menantang dan memicu adrenalin. Merampok itu juga bukan pekerjaan jelek, dibandingkan dengan kkn, apalagi jual beli jabatan.
Saya juga tidak harus tampil perlente, memakai jas dan berdasi. Saya bisa leluasa menyamar untuk mengenali dan mengamati target sasaran.
Saya mulai merancang, sasaran utama yang hendak saya rampok.
Merampok bank?
Itu tantangan yang menarik. Jika sukses, hasilnya jauh lebih menggiurkan dibandingkan mencuri ayam. Jurus dan gebrakan yang digunakan sama, tapi hasilnya jauh berbeda. Begitu juga hukumannya, jika tertangkap.
Selain itu, merampok bank butuh kecermatan membaca detail, keberanian, dan kenekadan. Saya juga membutuhkan kelengkapan sarana pendukung yang memadai, termasuk senjata api.
Saya tercenung. Siapa yang mesti saya rekrut untuk menjadi tim? Saya tidak mempunyai teman kriminal. Saya juga tidak mungkin mencari dan bergabung dengan para kriminal yang biasa merampok bank. Mereka tidak kenal saya, dan saya juga belum pernah berbuat kriminal. Lalu…?
Saya meragu. Saya lalu ingin mengalihkan sasaran ke nasabah bank, toko emas, dan yang lainnya. Yang penting, saya ingin sukses merampok seperti yang pernah ditontonnya di tv.
Sekali lagi hati saya menciut, karena ragu.
Jujur, selama ini saya belum pernah sekalipun melakukan perbuatan kriminal. Tapi tuntutan makan untuk keluarga, bayar kontrak rumah, dan biaya sekolah anak membuat saya nekad ingin merampok! Dan saya harus memperoleh uang!
Akhirnya, malam itu saya memutuskan untuk merampok ke desa sebelah. Rumah seorang kakek yang tinggal di pinggir kampung dan jauh dari rumah tetangga lainnya. Kakek yang saya amati tinggal sendirian.
Beruntung, sejak sore hujan turun cukup deras, sehingga suasana desa tampak gelap gulita dan sepi.
Tanpa menghiraukan curah hujan, saya berlari menerobos gelap malam menuju rumah kakek tua.
Rumah itu tampak temaram, karena penerangannya minim sekali. Barangkali kakek itu sudah tidur.
Saya mengamati sekeliling rumah untuk memastikan tidak ada orang yang melihat, dan aman.
Perlahan dan hati-hati saya menarik jendela agar tidak menimbulkan suara. Ternyata jendela tidak dikunci dari dalam.
Jantung saya berdetak kencang, karena tegang. Saya menghela nafas untuk menenangkan diri, lalu menaiki jendela…
“Masuklah, Ngger…,” terdengar suara lembut lelaki tua, ketika kaki saya menginjak lantai.
Suara yang membuatku dicekam ketakutan hebat. Tanpa sadar saya mencabut pisau.
“Duduklah, sarungkan senjatamu,” katanya lagi. Entah kenapa, suaranya yang lembut dan berwibawa itu mampu menyihir, dan menyirepku.
Saya terdiam, lemas, dan tertunduk tanpa daya.
“Duduklah! Jelaskan maksudmu hujan-hujan datang,” kata kakek itu sambil menuangkan air dari tremos, lalu menyorongkan ke arah saya.
“Ngger, apa dengan merampok membuatmu menjadi kaya? Bangga dan lebih dihormati? Coba kau pikir.”
“Kau merampok berarti permalukan diri sendiri. Apa tidak kau pikir akibatnya memberi makan keluarga dengan uang yang tidak halal?”
“Ngger, jika kau mengambil rejeki orang lain berarti kau mengambil rejekimu dan keluargamu sendiri. Ingatlah tabur tuai, Ngger agar kau tidak dihantui penyesalan dan dosa.”
“Ketimbang merampok, lebih baik kau berani berterus terang untuk minta tolong.”
“Lebih baik kau bekerja secara jujur tapi halal. Yang penting tidak malas bekerja dan berpikir. Yen gelem obah mesti mamah (kalau mau kerja pasti bisa makan).”
“Sekarang kau pulang. Terimalah uang ini untuk keluargamu,” kata kakek itu sambil memasukkan uang ke dalam genggaman tanganku. “Jika kau ingin bertani, datangnya ke sini untuk bantu-bantu,” katanya lagi sambil menepuk-nepuk bahuku. Seluruh persendianku bergetar hebat.
Saya sujud di kaki kakek itu. Kugigit bibir. Air mataku tumpah. Harga diriku luluhlantak, dan tercampak!
MR, Ciledug, 130222