Oleh DIMAS SUPRIYANTO
Kepala sekolah selalu berdalih “tidak ada paksaan”, namun dalam praktiknya, siswi yang menolak berjilbab, dipanggil guru BP (bimbingan dan penyuluhan), mendapat “nasehat” dan dibujuk, seraya memberi “tutorial”, yang bila tidak mempan, melakukan perundungan (bullying), pengucilan, yang akhirnya memaksa memakai atau siswi diminta mengundurkan diri.
PEMAKSAAN memakai jilbab yang berujung perundungan (bullying) pada siswi baru di Bantul – DIY, merupakan fenomena gunung es. Selain sekolah sekolah negeri (SD hingga SMA/SMK) universitas negeri – yang dikelola negara – juga kantor kantor pemerintah di daerah, kementrian, BUMN, dilanda jilbabisasi, pemaksaan jilbab – dengan segala edaran yang tercatat resmi sebagai aturan yang ditandatangani walikota dan bupati. Bahkan gubernur.
Sejumlah pemerintah daerah menerbitkan peraturan wajib jilbab, sebagai perintah eksekutif, mulai tahun 2001 di tiga kabupaten – Indramayu dan Tasikmalaya di Jawa Barat, serta Tanah Datar di Sumatra Barat. Dan kemudian merembet ke daerah dan provinsi lainnya.
Human Right Watch (HRW) mencatat, sudah 24 provinsi dari 34 provinsi Tanah Air – dari Aceh hingga Gorontalo – terpapar kewajiban jilbab bagi siswa, mahasiswa, pegawai kantor di pemda, pemkot, dan BUMD, selain BUMN.
Peraturan daerah yang mengekang itu muncul dan menyebar dengan cepat selama dua dekade terakhir, mendorong jutaan anak perempuan dan perempuan di Indonesia untuk mulai memakai jilbab — penutup kepala perempuan yang menutupi rambut, leher, dan dada. Biasanya dipadu dengan rok panjang dan kemeja lengan panjang.
Hampir 150.000 sekolah di 24 provinsi berpenduduk mayoritas Muslim di Indonesia saat ini memberlakukan aturan wajib jilbab berdasarkan peraturan daerah dan nasional. Di beberapa daerah Muslim konservatif seperti Aceh dan Sumatra Barat, bahkan pelajar perempuan non-Muslim, juga dipaksa untuk memakai jilbab.
Pengecualian terjadi di provinsi yang mayoritas penduduknya “non muslim” seperti Bali, NTT, Sulawesi Utara, Maluku, dan sebagian Kalimantan. Bali, kita tahu, mayoritas Hindu, 4 daerah lain mayoritas Kristen dan lima lainnya “fifty fifity”.
“Aturan Busana Muslimah” bagi siswa dan pegawai / ASN / BUMD/N – merupakan sebutan khas bagi aturan yang menjadi wajib itu, dalam bentuk edaran, imbauan, anjuran dan aturan, yang keseluruhan berdampak memaksa. Menjadi wajib! Sanski dan hukuman (enforcement ) nya kuat.
Human Rights Watch mewawancarai lebih dari 100 perempuan yang pernah mengalami pelecehan dan dampak jangka panjang karena menolak memakai jilbab. Human Rights Watch mengumpulkan peraturan-peraturan tersebut dan memasukkan semua itu sebagai lampiran sebuah laporan yang terbit pada 2021. Pejabat Gubernur Sulawesi Selatan Andi Sudirman Sulaiman bikin keputusan serupa, termasuk yang paling terakhir, pada Agustus 2021.
Kepala sekolah selalu berdalih “tidak ada paksaan”, namun dalam praktiknya, siswi yang menolak berjilbab, dipanggil guru BP (bimbingan dan penyuluhan), mendapat “nasehat” dan dibujuk, seraya memberi “tutorial”, yang bila tidak mempan, melakukan perundungan (bullying), pengucilan, yang akhirnya memaksa memakai atau siswi diminta mengundurkan diri.
Modus yang sama dilakukan kepada ASN dan PNS, serta pegawai BUMD dan BUMN, Satpol PP. Dengan sanksi bertahap. Dosisnya terus dinaikan jika tak mempan.
“Lebih cantik pakai jilbab “, “coba dulu nanti juga biasa” adalah bujukan awal, sebelum dosis dan tekanan (represi) meningkat, “menutup aurat dan memakai jilbab adalah kewajiban bagi muslimah” – “Kalau tidak mau ikut aturan silakan mengundurkan diri”
Selanjutnya, Karena balas jasa, bayar hutang dan misi khusus