Peran Negara, Pemda/Pemkot dalam Gerakan Jilbabisasi

Sekolah Wajib Jilbab

JILBABISASI dimulai awal 1980-an, dibawa oleh para mukimin – para mahasiswa dan sarjana asal Indonesia yang pulang dari Kerajaan Arab Saudi, setelah memperoleh bea siswa gratis untuk pendidikan mereka. Masa itu, Arab Saudi berlimpah petro dollar.

Arab Saudi dikenal dengan gerakan pemurnian Islam, Wahabisme, membawa muslim ke kehidupan zaman Nabi di abad 6-7 Masehi, yang berdampak intoleran radikal. Mereka menolak bidah, syirik dan kurafat. Mereka menolak kehidupan modern meski memakainya.

Sebagai “balas jasa” atau “membayar hutang” – atau karena “gegar budaya” – selain juga ada yang memang membawa misi khusus dari Kerajaan Arab Saudi – setibanya di Tanah Air mereka membayar dengan mengArabkan budaya gurun pasir di sini. Trend jenggot, cingkrang, jilbab adalah ekspresi Islam Wahabi/Salafi yang marak di sini, dalam upaya pemurnian Islam untuk kembali ke abad 7 Masehi di kehidupan modern itu. Sesuai gaya Arab Saudi.

Apel Pegawai Negeri Sipil (PNS) alias Aparatur Sipil Negara (ASN) – terkena aturan jilbab, dengan sanksi bertahap. Sanksi dipecat atau mengundurkan diri paksa, bila membangkang.

Dalam praktiknya di Indonesia, mereka menggunakan dan menyaru ke dalam ajaran Islam toleran, namun mengajarkan intoleran – sehingga perlawanan terhadap mereka dianggap sebagai perlawanan kepada “Islam” – “Anti Islam” dan “Islamophobia”.

Makin keras aturan kewajiban jilbab, makin keras (ajaran Islam di) daerahnya, kata Andreas Harsono dari Human Right Watch. Sumatara Barat dan Aceh, selain Indramayu dan Tasikmalaya di Jawa Barat, ditengarai merupakan daerah yang bupati / kepala daerahnya mengawali wajib jilbab bagi pegawai (ASN) mereka. Merembet ke daerah lain. Hingga 24 provinsi kini.

Sebanyak 60 aturan terkait busana muslimah ditulis terkait wajib jilbab itu, tulis Human Right Watch dalam laporan terbarunya.

Kewajiban memakai jilbab bagi muslimah Indonesia di Bumi Nusantara, merupakan aturan yang diskriminatif, represif, yang melanggar HAM, yaitu hak mendapat perlakuan sama tanpa membedakan jenis kelamin, dan latar belakang suku, agama, dan keyakinannya. Juga kebebasan berekspresi.

Selain itu, wajib jilbab melanggar hak dasar bagi siswa mendapat hak pendidikan. Sebab siswi yang menolak berjilbab di sekolah didesak untuk mengundurkan diri.

Pihak sekolah dan para guru melakukan pemaksaan, patut diduga, akibat tekanan dari atasannya di instansi Dinas Pendidikan dan Pemerintah Daerah setempat. Karena ada aturan resminya.

Pemaksaan jilbab semakin sistematif, terstruktur, dan masif, karena dukungan dana internasional. Ada sponsor. Tak diragukan lagi. Pemaksaan jilbab makin terang terangan. Bukan hanya siswi pegawai, bahkan bagi warga awam yang sedang keluar rumah, seperti di Aceh dan Sumatera Barat.

Selanjutnya, Kaum Nasionalis mengambil Untung

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.