SELAIN menyusup ke pemerintah, kaki tangan pendonor asing yang memaksakan jilbab dan budaya Arab juga membidik kalangan swasta melalui figur figur populer hingga merebak trend “hijrah” dan bergaya hidup “Syar’i”.
Mereka mengongkosi artis artis top yang sudah menurun pamornya, tapi masih dikenal untuk “hijrah” dan mendapat dana besar. Pengajian pengajian dengan pendakwah yang mengancam dan menjanjikan surga juga ramai di masjid masjid maupun di radio dan televisi, makin mengaburkan dan menghancurkan busana dari budaya asli Nusantara yang kaya. Dan mengArabkan Indonesia.
Afganistan dan Iran adalah contoh dua negara yang mengekang wanitanya dengan mengurungnya di rumah dan pakai jilbab. Penjara puluhan tahun bahkan dijatuhkan untuk mereka yang menolak dan kini melawan.
Para politisi nasionalis di Indonesia, baik di pusat daerah, cenderung tidak peduli bahkan merasa diuntungkan dengan wajib jilbab itu, karena paham emosi agama di masyarakat susah diubah.
Alih alih mengembalikan ke budaya bangsa, politisi mengambil untung dari aturan itu. Demi mendapat predikat “pro rakyat” – “pro islam”, “agamis”, dll.
Para menteri yang dikonfirmasi HRW ngeles dan menyebut “jilbab tidak wajib, harus menghormati HAM”, tapi dalam praktik lapangannya, dalam implementasi aturannya menegaskan bahwa busana muslimah wajib pakai jilbab dan rok panjang, lengan panjang.
Gerakan wajib jilbab, menurut Andreas Harsono dari Human Right Watch, dipelopori oleh kepala daerah dari politisi Partai Demokrat, notabene partai nasionalis di era SBY.
“SBY adalah presiden paling sektarian karena ketidakmengertian tentang diskriminasi, “ kata Andreas Harsono dalam satu wawancara di Youtube. **