MENYOROTI tindak kekerasan seks di kampus. Terutama di PTKIN, Perguruan Tinggi Ilmu Keagamaan, sangat memprihatinkannya.
“Penginnya zero, tapi pastinya ini butuh perjuangan dari semua pihak. Penginnya dari rektor hingga tukang sapu memahami dan peduli. Pokoknya harus ditekan serendah mungkin, ” harapnya.
Hal yang mengesalkan biasanya di kampus kasus kasus aib disembunyikan untuk menjaga nama kampus.
“Malah diumpet umpetin. Padahal harusnya dibuka. Pelakunya harus ditindak tegas. Siapa pun dia”.
Rektor harusnya mengungkap, dan menyerahkan pelakunya ke polisi, “demi melindungi korban, ” katanya galak.
“Selama perempuan masih dimarjinalisasi, didiskriminasi, distigmaisasi, dinomorduakan, mengalami kekerasan seksual. Berarti belum ada kesetaraan, ” tegasnya.
“Saya ingin menyuarakan relasi kesetaraan. Tapi nggak bisa sendiri. Harus bareng bareng, ” paparnya.
Sedangkan isu bersama yang diharap bareng Gus Yaqut adalah moderasi beragama yakni menekan kecenderungan perilaku beragama yang berlebih lebihan.
” I stand with him. Dan nerima semua konskwensinya, ” katanya tegas.
Saya minta komentarnya tentang munculnya grup hijaber dan produk berlabel “syar’i”.
“Kewajiban muslimah adalah menutup aurat, sesuai budaya negara dimana dia tinggal. Dan siapa saja berhak menyampaikan, tidak boleh maksa, apalagi menyalahkan dan menghakimi” jawabnya.
“Menilai kepribadian orang semata- mata dari penampilan dan pakaiannya, is very big mistake! ” Tegasnya.
Dia terkaget kaget ketika saya ceritakan di online ada penjualan “mukena syar’i”.
“Aduh, ampun deh..namanya aja mukena – kurang syar’i apalagi? ” Katanya sambil geleng geleng.
Sebagai pendamping tokoh pluralis, Mbak Eny juga banyak berteman dengan kalangan minoritas. Banyak terima aduan juga ? “No! They didn’t talk about anything in particular, but I feel them, “ katanya.
Usai wawancara resmi, saya menggodanya lagi, apa tidak tertarik untuk menjadi diri sendiri?
Dengan kapasitas yang dia miliki, dia bisa jadi bupati, anggota dewan bahkan jadi menteri. Bukan isteri menteri. Jadi pendekar kesetaraan gender dan tokoh pejuang kemandirian wanita.
“Hadooh Mas ini. Apalah saya ini Mas? Saya ‘kan cumah remah remah renggginang! ” kelitnya keras. Lalu tertawa.
“Saya sudah puas dukung suami saja, ” ujarnya lagi. Dia pun selalu menghindari panggilan sebutan “Bu Menteri” – yang menurutnya “menyesatkan”.
“Kalau nggak awas, bisa bisa saya menikmati – terlena – lalu tergoda. Itu nggak benar, ” koreksinya.
Apalagi kalau di daerah itu, aduuh penyambutannya ngeri banget. Berlebihan. “Saya ini cuma Simbok Emban, ” dia meluruskan lagi.
Simbok Emban yang wajahnya secantik artis dan sosialita Maia Estianty.
Pembaca setuju ‘kan? ***