Percakapan Imajiner Film (1)

Oleh Noorca M. Massardi

Aku bukan siapa-siapa. Aku cuma penonton film biasa.
Terus kenapa sewot? Memang kamu pernah dirugikan?


Ya, enggak secara langsung. Tapi sebagai penonton aku banyak kehilangan kesempatan untuk menonton film-film bermutu, berkualitas, karya anak bangsa.
Hilang kesempatan itu karena apa? Kamu enggak punya duit? Atau karena enggak mampu beli tiket?


Kalau itu sih wajar saja, kan aku bukan orang gajian. Aku cuma bisa nonton kalau dapat undangan atau kalau diajak teman untuk nonton bareng film-film karya anak bangsa
Wah, enak dong bisa nonton film gratis?


Sebenernya sih enggak enak. Tapi kalau nonton di bioskop penghasilanku enggak cukup buat beli tiket, cemilan dan makanan yang harganya selangit.
Kenapa enggak melamar jadi pewarta film saja? Kan banyak media yang biasa meliput film?


Aku enggak berani. Karena sudah banyak sekali pewarta yang hebat-hebat dan kritikus yang hapal segala macam film. Apalagi tulisan-tulisan mereka juga aku enggak mampu menyamainya. Lebih-lebih kalau mereka mengutip atau merujuk pada teori-teori perfilman dunia
Terus, kalau kamu diundang nobar film-film karya anak bangsa seperti kamu bilang tadi, itu memangnya semuanya bagus-bagus dan hebat?


Ya, enggak juga. Terus terang, hanya sebagian kecil saja yang bagus dan berseni, serta dan yang dipersiapkan segalanya dengan matang. Selebihnya sih cuma pamer bintang dan mengejar profit semata. Apalagi film-film horror, misteri, hantu-hantuan. Ampun deh.

Terus, apa hubungan semua itu dengan bioskop? Kok kamu sewot banget?
Ya adalah. Karena enggak semua film karya anak bangsa itu bisa tayang di semua bioskop
Itu kata siapa?
Ya, kata kebanyakan produser dan orang-orang film sendiri
Kamu punya buktinya atau cuma katanya-katanya?
Ya, katanya. Aku kan bukan pewarta dan bukan orang film?
Nah, jangan gampang percaya hoax dong. Kamu pikir bioskop punya hak untuk menolak film nasional?


La, buktinya banyak film yang enggak bisa ditayangkan.
Contohnya?


Ya, banyaklah. Mana aku hapal.
Kamu jangan suka berkhayal. Bioskop itu apa pun mereknya, siapa pun pemiliknya, sesuai ketentuan perundangan, wajib menayangkan film nasional, kalau film itu sudah mendapatkan surat tanda lulus sensor (STLS) dari Lembaga Sensor Film (LSF)


Betul itu? Kok aku enggak percaya?
Nah, cari tahu dong, jangan terlulu cepat termakan hoax bertahun-tahun.


Terus, kenapa orang-orang film masih suka komplain soal bioskop?
Ya, yang mengeluh itu adalah yang filmnya kurang atau tidak laku di pasaran.


Nah, itu dia. Film itu katanya kurang laku atau tidak laku karena tidak cukup mendapat jumlah hari tayang dań bukan di bioskop yang banyak penonton filmnya.
BERSAMBUNG KE 2

Avatar photo

About Noorca M Massardi

Creative Writer, Author, Anggota LSF, tinggal di Tangerang Selatan. Karya Novel: Sekuntum Duri - Mereka Berdua - September - Straw - 180 - Setelah 17 Tahun. Kumpulan Puisi: Hai Aku Sent To You - Hai Aku - Ketika 66 - Pantai Pesisir