Rekan kerja saya baru saja bercerita tentang temannya yang di usia tua kian pikun. Kemana-mana dituntun suaminya yang sudah menginjak usia 82 tahun. Itu hasil campurtangan suami yang terlalu memanjakan isteri sejak awal, ujarnya. Saya tak sempat memberi komentar karena ada WA misterius. “ Bisa luangkan waktu mas. Temui aku dong. Please help. Penting banget. It’s a matter of life.” Ratih.
Ratih ? Akh lama tak ketemu. Apakah dia masih secantik saat menjadi sekretaris dulu ? Di atas pesawat saya sempat terbayang bagaimana dulu saya dipercaya mengelola PH Virgo Film milik Ferry Angriawan, suami Meriam Bellina, dan Ratih menjadi sekretaris saya. Masih terbayang sosok perempuan yang dulu sangat dekat, rajin, sigap dan kreatif.
Waktu ketemu, saya kaget. Ratih juga kaget. Dia masih cantik seperti dulu. Masih seksi dan gemulai. Seumpama bunga mawar, tampilannya megah, indah, baunya semerbak, tapi jiwanya rapuh. Kali ini bunga mawar ini tampak layu. Tak berdaya.
Sejak tiga bulan lalu saya baca berita duka. Mas Kitri, suami Ratih meninggal karena serangan jantung. Sebagai seorang isteri dengan dua anak yang ditinggal suami tercinta tentu terasa berat. Lebih berat lagi lantaran Ratih tak tahu cara meneruskan hidupnya kini.
Sejak menikah 20 tahun lalu, nyaris segalanya diurus oleh suami dan para pembantunya. Ratih hanya masak, momong dan melayani keluarga. Urusan domestik dia jago. Tapi bayar kartu kredit, tagihan telpon, internet, tv berbayar, air minum atau beli pulsa dia tidak tahu.
Ratih memegang dua kartu kredit yang batas kreditnya mencapai 200 juta, dua ATM BCA dan Mandiri yang setiap bulan berisi 50 juta. Semua diisi Mas Kitri sementara tagihan rutin diurus oleh pembantunya yang masih kerabat sang suami. Praktis selama 20 tahun ini Ratih tak pernah punya masalah atau kerumitan hidup layaknya ibu rumahtangga lain.
Problematik hidup sangat jauh dari kehidupan Ratih. Setidaknya itu penilaian saya. Setidaknya itulah tanda-tanda orang yang dalam hidupnya terlalu dimanja oleh lingkungan. Dalam hal ini almarhum suami Ratih ( maaf). Saking sayangnya sang suami pada isteri, semua keperluan disediakan suami; ekonomi, cinta dan segala kemudahan.
Suami Ratih telah menyediakan “kurungan ” mewah bagi kehidupan seorang manusia bernama perempuan. Ia menyediakan semua hal di sana, tapi tidak menyediakan kebebasan yang diinginkan seorang isteri. Diantaranya kekayaan pengalaman hidup yang akan menjadikan seorang perempuan kuat, dan mampu mengatasi berbagai masalah.
Saat suaminya pergi, Ratih memang diwarisi berbagai hal yang tak bisa gampang diperoleh seorang isteri; sebuh rumah mewah ukuran 1.200 M2 dengan kebun dan kolam renang, tiga mobil berbagai merk, 4 buah apartemen di Jakarta, Bandung, Bali dan Lombok serta sebuah tanah kosong seluas 2 hektar di Kudus, tempat kelahiran sang suami. Ia bagai seorang puteri yang duduk di atas hamparan butiran padi. Datanglah sekelompok ayam mematuk butiran padi itu satu demi satu, hari demi hari.
Kemanakah padi yang akan ditanak ketika ia dan anaknya kelaparan ? Itulah buah kerapuhan puteri kurungan. Tiba-tiba saya ingat syair sebuah lagu yang sedang populer :
All the shine of a thousand spotlights
All the stars we steal from the nightsky
Will never be enough
Never be enough
Towers of gold are still too little
These hands could hold the world but it’ll
Never be enough
Never be enough
Ratih yang dulu saya kenal sangat periang, kini sedang menghadapi dunia sebenarnya yang sudah 20 tahun ia tinggalkan. Tidak terlalu sulit bagi saya mengemas apa yang dia miliki sebagai aset yang menghasilkan passive income bagi dia dan anaknya. Namun tersisa sebuah pertanyaan yang tak mudah dijawab.
Seberapa lama burung dalam sangkar ini bisa terbang bebas seperti dulu. Saya tidak tahu apakah ia masih ingat bahwa untuk mengejar sesuatu yang kita inginkan, batasnya hanya langit yang tak bertepi. Sebab di sana tak ada lagi sangkar……
27.04.20