Perempuan dan Anak-Anaknya (5)

Oleh Gerson Poyk

Sekarang ia ingat. Ada seorang teman baiknya yang menjadi pemborong. Ia cukup memiliki harta. Langkahnya dipercepat menuju pemborong itu. Temannya mula-mula kaget dan tidak percaya akan kehadirannya.

“Bukankah dikatakan orang, Saudara sudah disingkirkan karena melakukan pekerjaan subversif?” Tanya temannya dalam nada bergurau.

“Mereka yang sudah disingkirkan malah!”

Kemudian mereka ngobrol dengan penuh kemesraan. Tuan rumah mengeluarkan dendeng dan arak. Ia menceritakan masalah berburu, kemudian menanyakan apakah A masih suka berburu seperti dulu. A menjawab bahwa di Jakarta orang tidak memburu rusa untuk dijadikan dendeng, melainkan memburu kekuasaan dan kenikmatan.

“Saudara juga memburu kekuasaan?”

“Tidak, saya orang yang diburu.”

“Di Jakarta saudara menjadi rusa?”

“Tidak. Saya menjadi kelinci!”

Tuan rumah tertawa terbahak-bahak. “Saudara menjadi kelinci percobaan?”

“Begitulah!”

“Saya juga lama menjadi kelinci percobaan di sini!” kata pemborong itu. “Saya dimasukkan dalam kotak dan tidak bisa berkutik. Baru saja beberapa hari ini saya mendapat kerjaan borongan memperbaiki bangunan-bangunan mereka. Semua pekerjaan borongan, mereka yang pegang. Mereka orang-orang komunis dan satelit-satelitnya. Lama saya gigit jari. Tetapi cobalah saudara saksikan sendiri. Belum apa-apa semen dan tembok sudah terbelah-belah. Memang mereka membangun sebanyak-banyaknya rumah, tetapi pekerjaan mereka kodian. Mereka mengutamakan kuantitas, bukan kualitas. Mereka dapat banyak keuntungan dan keuntungan itu untuk menggali lubang-lubang!” Pemborong itu melepaskan seluruh tekanan hatinya di depan temannya yang baru datang itu.

Sementara itu nyonya rumah keluar. “Bagaimana dengan nyonya di Jakarta?” Tanya nyonya rumah.

“Baik,” jawab A. “Cuma agak kurus.”

“Tetapi tetap cantik tentu. Hadijah sekarang kurus. Saya lihat dia ketika saya lewat di depan rumahnya,” kata nyonya rumah.

“Maksud saya ke sini untuk meminta bantuan buat Hadijah,” kata A. Mendengar itu, tuan rumah suami-istri mengira A bergurau. “Hadijah sekarang janda dan ia bermaksud untuk membagi-bagikan anaknya.”

“K sudah….?” Tanya nyonya rumah.

“Ya, ia sudah kembali ke lubang yang ia gali sendiri!”

Keduanya terdiam agak lama. Nyonya rumah menarik nafas.

“Itulah sebabnya saya ke sini. Musuh saya sudah menerima ganjarannya, tapi anak-anaknya menjadi tanggung jawab kita semua.” “Saya akan memungut seorang. Bisakah saudara suami-istri menanggung seorang anak?” Tanya A.

Nyonya rumah kelihatan terharu. Matanya menggenang, tetapi suaminya tetap tenang. “Tapi ada satu hal yang harus saudara ketahui,” kata pemborong itu, “Bahwa manusia di sini sudah keluar dari dalam dirinya dan menjadi politik. Oleh karena itu faktor politik harus kita perhitungkan.”

“Ssst,” istri pemborong itu menegur suaminya. “Jangan bicara soal politik. Bicaralah soal memelihara anak yang tidak bersalah!”

“Tidak, ini gara-gara mereka. Manusia-manusia itu sudah mengalami metamorphosis alias perubahan bentuk dari manusia menjadi semacam binatang yang bernama ‘partai’, sehingga segala yang dilakukan partai adalah halal. Maaf, doakan supaya manusia mengalami lagi perubahan bentuk dari binatang yang bernama partai itu kembali menjadi manusia yang sebenarnya!” kata pemborong itu. “Dan maaf, mengenai itu kami agak takut. Tempat ini sangat kecil. Sedangkan kucing yang dipelihara orang bisa diketahui seluruh kota, apalagi anak Gestapu! Kami takut reaksi ekstrim yang dilancarkan oleh massa yang marah!”

Mendengar keterangan itu, A tertegun. Berarti usahanya menemui kegagalan. Malam itu ia minta diri, lalu cepat-cepat pulang ke penginapan.

Pulang ke penginapan, ia disambut oleh pelayan dengan gembira. Pelayan itu menawarkan makan malam, tetapi ia menolak. Ia duduk sebentar memusatkan pikirannya mencari jalan lain. Ia bangun berkeliling kamar tamu, kemudian ia masuk. Ia menuju telepon dan berbicara dengan seorang temannya. Temannya seorang dokter yang telah lama bekerja di kota itu. Tapi permintaannya gagal. Dokter itu mengatakan bahwa ia seorang dokter untuk penyakit badan dan bukan dokter sosial. A mendesak temannya itu, tetapi temannya takut memelihara anak-anak Gestapu, sebelum haru-hara politik menjadi roda sama sekali. Hati A jengkel betul pada dokter itu. Ia berpikir di mana-mana orang sudah terapung di laut akibat kecelakaan kapal, sehingga bila perlu membunuh sesamanya dalam perebutan sekeping papan.

Ia keluar dari penginapan. Disewanya sebuah dokar lalu berkeliling mencari panti-panti asuhan. Dan malam itu ia berbicara dengan pemimpin mereka. Dari mereka diperoleh penjelasan bahwa badan-badan sosial keagamaan itu baru melakukan kegiatannya dalam usaha membuka sekolah-sekolah. Uang belum ada untuk membuka panti asuhan.

Dan malam itu ia pulang dengan kecewa.

Keesokan harinya ia mengunjungi lagi Hadijah. Setiap ia datang, selalu dihibur oleh dunia yang baru: mata anak-anak yang bening itu. Anak-anak itu girang menyambutnya sambil memegang bongkah ubi.

“Tidak ada orang yang mau,” kata A, “Pegawai negeri menolak karena gajinya tidak cukup. Orang-orang yang lumayan seperti pemborong dan dokter menolak, karena takut gerakan-gerakan politik. Badan-badan sosial agama baru membuka sekolah dan tidak ada anggaran untuk membuka panti asuhan.”

Hadijah tersenyum tawar. “Tidak apa. Kalau orang-orang itu takut pada anak-anak ini, maka ada yang masih berani.”

“Siapa!”

“Para pengemis.”

“Kau jangan terlalu berputus asa. Aku bawa semua anak ini ke Jakarta. Seorang aku angkat anak. Yang lain aku masukan ke panti asuhan”.

Hadijah tidak segera menjawab. Kepalanya agak pening. Matanya berkunang-kunang. Ia hanya memijat-mijat kepalanya dengan jari jemarinya yang pucat. Ketika Hadijah melihat anaknya yang mirip K naik lagi ke pangkuan A, jantungnya berdebar-debar dirayu oleh perasaan yang aneh. Ia merasa bahwa A memangku K dengan penuh kasih sayang. Hatinya teriris.

Bersambung

(Ditulis September 1966)7<

Avatar photo

About Fanny J. Poyk

Nama Lengkap Fanny Jonathan Poyk. Lahir di Bima, lulusan IISP Jakarta jurusan Jurnalis, Jurnalis di Fanasi, Penulis cerita anak-anak, remaja dan dewasa sejak 1977. Cerpennya dimuat di berbagai media massa di ASEAN serta memberi pelatihan menulis