Perempuan itu Bernama Dada

Entah ini benar atau tidak, sebab tatkala bibirnya nan elok itu bertutur, ada kengerian yang menjalar lamat-lamat, kisah itu bagai jalan panjang berwarna hitam yang penuh duri, ada kesakitan yang menggenangi segenap nadi, ngilu dan menyakitkan. Tapi dia tampak biasa-biasa saja. Ekspresi wajahnya dingin, datar tanpa ada mimik yang mengejutkan. Dengan seringainya yang seolah mengejek, dia berkata, “Sudahlah, itu kisah masa lalu, tak perlu diingat, dibahas atau dikorek lagi. Biarkan dia redup lalu perlahan-lahan mati dan terlupakan. Biarkan.”

Tapi sekali lagi kukatakan, perempuan ini memang mahluk penyimpan rasa yang piawai. Kegelisahannya, kesedihannya, rasa sakit hatinya dan rasa luka yang demikian dalam mengendap, seolah lenyap tak berbekas. Aku meyakini kalau ia menyimpan semua kisah yang dialaminya merupakan beban yang terlalu berat untuk dipikulnya. Kurasa, ia mahir bersandiwara. Atau ia menganggap hidupnya hanya sebuah drama yang berakhir di satu babak dan akan muncul babak berikutnya? Entahlah, seperti yang sudah kukatakan, setiap kali memandangnya, riak yang memedihkan itu seakan merasuk ke dalam pori-poriku. Dan ia tak pernah tahu, bila kudengar kisahnya, ada rasa yang perih mengalir diam-diam, rasa itu bagai jarum yang menusuk tiap persendianku dan melihatnya begitu tenang, ada gelegar kekagetan yang luar biasa bergemuruh di dadaku. Jatungku berdegup kencang, kakiku gemetar, aku ingin memeluknya, semua yang berkaitan dengan kisahnya menyatu dengan pikiranku yang hampa dan beku. Sekali lagi kukatakan, aku ingin merengkuhnya, berharap agar derita yang ia rasa sedikit berkurang, ya sedikit berkurang…

“Panggil saja aku Dada. Nama asliku telah kuhapus dari relung ingatan puluhan tahun yang silam.” Pintanya dengan suara tipis tanpa intonasi.

Ya, aku tahu nama itu. Semua orang yang berada di lingkungan kami mengenalnya. Nama yang sangat akrab di telinga. Ia bak kupu-kupu dengan pesona ragawi nan cemerlang, di antara kumpulan para seniman yang rata-rata berambut panjang, berpenampilan sederhana dan jarang yang berkocek tebal, ia adalah madu. Dada merupakan selebriti sastra dengan citra muram yang terselubung. Selubung itu menyimpan beragam cerita yang ia simpan rapi dalam kotak ingatannya. Namun, tanpa dipaksa terkadang ia mengisahkannya dengan ringan. Sebuah kisah tentang perjalanan cinta yang tak pernah berakhir bahagia. “Mereka hanya pengecap, mereka tak pernah menyimpan rasa yang dikecapnya di dalam hati. Setelah rasa itu hilang, mereka melupakannya. Mereka tak lebih dari harimau yang rakus bila melihat daging mentah.” Ujarnya suatu hari.

Siapa mereka? Entahlah. Dada hanya mengatakannya samar-samar. Permainan kata-kata dengan kalimat yang berputar macam politikus, benar-benar dikuasainya, sehingga aku yang mendengarkan kisahnya harus berpikir keras apa yang ia maksud. “Yang kau maksud daging mentah itu, dirimukah?” tanyaku spontan.
Dada mengernyitkan dahi. “Banyak yang seperti itu. Tatkala mereka tidak memiliki uang untuk membeli daging segar, daging busuk pun mereka sikat,” sinis suaranya terdengar.
Lalu, siapakah sang harimau yang dia maksud? Apakah komunitas tempatnya selalu berada? Apakah komunitas itu sedemikian kejamnya? Ah, Dada selalu begitu, bercerita namun tak pernah jelas apa yang ia maksud dari inti ceritanya. Dada tetap kelam, meski ia secantik kupu-kupu, ia adalah misteri tersembunyi yang menggelitik siapa saja untuk mengetahui siapa dia sesungguhnya.


Kemudian aku ingat akan perkataan Dada dulu, ini berkaitan dengan komunitas yang kerap dihadirinya, “Di antara para seniman itu, aku sulit untuk membedakan siapa dari mereka yang benar-benar berwawasan luas, mengerti sastra, dan memang potensial serta memiliki karya yang kerap terpublikasi di berbagai media. Atau, mereka hanya ingin mengalihkan perhatian publik sehingga mereka dianggap sebagai orang-orang berjiwa seni yang benar-benar nyeniman dan nyentrik? Aku hanya tahu beberapa dari mereka saja yang benar-benar berkualitas.”

“Lalu, mengapa kau suka berkumpul bersama mereka?” tanyaku.

“Jawabannya, beberapa dari mereka yang benar-benar telah memiliki nama dan diproklamirkan sebagai sastrawan hebat di negeri ini, adalah mantan pacar-pacarku,” ucapnya ringan.

Jawaban itu sesungguhnya membuatku terkesima sekaligus perih. Namun di tengah turunnya gerimis, di teras depan sebuah kios buku yang sepi pengunjung, Dada memandang kedua mataku dengan serius. “Kau mau tahu seberapa dalam aku berpacaran dengan mereka?” tanyanya serius.

“Untuk apa?”

“Agar kau tahu siapa aku sebenarnya dan juga agar kau tahu siapa mereka yang disebut sebagai seniman yang humanis itu.”

“Lalu, jika kutahu, apa gunanya untukku?”

“Tak ada. Aku hanya ingin mengujimu, apakah cerita tentang kisah cintaku akan berkembangbiak seperti yang sudah-sudah. Seperti yang digosipkan para penggosip nyinyir itu…” ucapnya tanpa ada nada marah.

Entah siapa yang disebutkan penggosip nyinyir, namun pada akhirnya aku bisa mengerti mengapa ia digosipkan seperti itu. Perempuan yang selalu bertutur kata santun dengan kalimat tertata apik ini, benar-benar tak pernah khawatir akan kisah-kisah cintanya yang telah ia sebarkan entah ke beberapa orang. Termasuk aku.

“Aku terlahir dari keluarga berantakan. Ibuku meninggal tatkala aku berusia lima tahun. Ayahku kawin lagi, aku kemudian dititipkan di sebuah panti asuhan hingga berusia dua belas tahun. Saat remaja, aku dimasukan ke sebuah pesantren oleh ayahku. Tak banyak kenangan yang kuingat selama berada di sana, selain semakin dekat kepada Tuhan. Aku adalah remaja pendiam yang tidak memiliki teman. Aku suka menyendiri dan berkhayal. Kadang aku suka menginginkan kematian, ingin bertemu dengan ibuku.” Kisahnya tanpa kuminta. “Tapi apakah kau tahu apa yang kuinginkan dalam hidup ini?” tanyanya padaku.

Aku menggeleng.

“Aku ingin dicintai, dan cinta itu harus diberikan dengan tulus, sesuai dengan impian yang kumiliki.” Katanya.

Entah apa maksudnya, kisah tentang cinta melebur jadi satu dengan keinginannya yang menggebu tentang seks. Sungguh, tatkala ia menuturkan pengalamannya itu, keringat dingin mengucur di dahiku. Ya, ia begitu muda, begitu mungil, begitu innocent, wajahnya yang tanpa dosa itu membuatku untuk tidak percaya jika ia punya pengalaman spektakuler yang membuat aku bertanya dan bertanya, benarkah?

“Laki-laki yang pertamakali meniduriku, awalnya berjanji hendak menikahiku. Tapi ternyata ia telah berisitri, aku menyerahkan keperawananku tanpa ada rasa sesal. Aku mencintainya. Aku bahkan bersedia nikah siri dengannya jika ia mau, tapi tampaknya dia hanya mau memanfaatkan tubuhku dengan gratis saja. Dialah harimau pertama yang kuberikan dagingku. Hhhh… aku bagaikan sebuah kisah klise tentang seorang gadis yang terenggut keperawanannya hanya karena dijanjikan hendak dinikahi. Aku tidak menyesal, biarlah ia bahagia dengan isterinya.”

Lalu, bersama luruhnya hujan ke bumi, bersama lenyapnya biru langit, Dada menatap lurus ke depan, melihat derasnya hujan sembari berkata pelan, “Mereka kembali berbuat jahat padaku. Tatkala aku mengiyakan untuk tidur bersamanya, mereka merekam semua tanpa sisa dan mengedarkan hasil rekaman itu tanpa sepengetahuanku. Dalam waktu singkat, aku sudah menjelma nyata menjadi perempuan murahan dengan ungkapan piala yang siap digilir.”

“Mengapa kau mau?”

“Itulah cinta. Ketika laki-laki itu berjanji akan melindungi dan mencintaiku dengan sepenuh hati, aku takut kehilangannya. Kuberikan apa yang kupunya. Tapi lagi-lagi aku terkecoh. Seperti yang sudah kukatakan, mereka hanya menganggap aku bagai daging mentah yang siap disantap. Tak lebih.”

Kutatap Dada dengan tatapan pilu. Aku lalu teringat kisah perempuan muda India yang diperkosa beramai-ramai, lalu dipukul dan dibuang dari sebuah bus dan akhirnya gadis itu mati setelah mengalami koma beberapa hari. Dada tidak seperti itu, tapi apa bedanya dia dengan si gadis India yang malang itu?

“Kau pasti menganggap aku sampah. Ya aku memang sampah, aku tak bisa memberikan harga tinggi pada diriku sendiri. Yang kuinginkan hanya cinta, cinta. Ingat itu!”

Ah, Dada. Wajahnya yang putih bulat telur dengan alis tebal bertaut di keningnya, membuat ia tampil kian menarik. Tubuhnya yang putih bersih itu seharusnya bersinar cerah seperti marmer putih tanpa cacat. Aku tak ingin mengadilinya. Hanya saja, jika cinta yang ia inginkan, haruskah ia mengorbankan tubuhnya dengan begitu banyak lelaki? Kurasa satu cinta bisa ia dapatkan dari satu laki-laki yang sungguh-sungguh mencintainya.

“Dada, lupakan obsesimu terhadap cinta. Biarkan ia datang sendiri melalui tangan Tuhan yang mengasihimu. Aku tahu, jika kau berdoa dengan sangat, Tuhan tidak buta, Ia akan mengirimkan seorang pangeran yang mengendarai kuda putih padamu. Percayalah!” hiburku.

Dada hanya tersenyum kecut, lalu berkata perlahan, “Jangan membuat aku seperti anak kecil bodoh yang berharap sinterklas menaruh hadiah di kolong tempat tidurku, Pras. Aku tahu cinta itu tak akan datang. Pangeran berkuda putih yang tampan hanya harapan semu yang tak akan pernah ada dalam kamus hidupku. Sudahlah, aku tidak memiliki harapan lagi. Cinta sudah tak ada, kebahagiaan telah lenyap.” Lalu butir-butir air mata membasahi pipinya. Ini kali pertama kulihat ia menangis, dan ini kali pertama juga aku merasa bahwa sesungguhnya ia adalah sosok yang rapuh.


Di malam yang sepi, khabar itu muncul perlahan, senyap tanpa emosi. Dada bunuh diri di kamar kostnya. Ia memotong urat nadinya dengan silet dan menulis kata-kata perpisahan untuk para lelaki yang dicintainya. Aku membayangkan, kala ia menulis, tentu rasa sakit menunggu ajal itu ia rasakan dengan penuh penderitaan. Dada yang malang, aku menangis diam-diam usai mendengar kematiannya. Tak ada lagi cinta dalam hidupku Pras, tulisnya. Perempuan tetap saja menjadi tokoh utama dari sebuah permainan rasa yang dilakukan para lelaki. Aku tak bisa berharap salah satu dari mereka akan menjadi suamiku. Mereka adalah mahluk egois yang hanya menginginkan satu daging utuh yang segar dan belum terjamah. Sedang aku? Kau telah tahu semuanya. Maka jika aku terlihat lemah, maafkan. Aku belum bisa memenuhi saranmu.

Perempuan itu bernama Dada. Aku memandang jasadnya yang putih bak pualam tanpa noda. Matanya terkatup, bibirnya tersenyum, dia seolah tertidur dengan lelap. Semua telah berakhir. Dan aku menyesal dengan amat sangat, ah andai saja aku bukan pengecut, andai saja ada keberanian untuk mengucapkan sebaris kalimat padanya, tentu tak akan begini jadinya. Dada, seharusnya kau menungguku, akulah pangeran itu, meski aku tidak tampan dan tidak mengendarai kuda berwarna putih, sejujurnya ada cinta yang tulus akan kuberikan padamu. Dada…

Oleh : Fanny Jonathan Poyk

Elegi untuk Intan Olivia

Avatar photo

About Fanny J. Poyk

Nama Lengkap Fanny Jonathan Poyk. Lahir di Bima, lulusan IISP Jakarta jurusan Jurnalis, Jurnalis di Fanasi, Penulis cerita anak-anak, remaja dan dewasa sejak 1977. Cerpennya dimuat di berbagai media massa di ASEAN serta memberi pelatihan menulis