lCM Sabastian Sapta Adiguna, kontributor Seide.id di Paris . Foto: NCM.
Oleh SAPTA ADIGUNA LIE CHEN MIN
Menghadapi gelombang transgender di kalangan remaja usia Pancaroba, rumah sakit di Swedia tidak lagi memberikan Hormon Puberty Blockers kepada anak di bawah umur.
Swedia agaknya sedang banting setir dalam politik Experimental Transgender yang dimulai pada 2012, dan mendapatkan “sukses” fenomenal pada 2017 – 2018, ketika anak-anak puber dapat “berganti gender” seperti bongkar pasang onderdil tergantung pada “mood” saat itu.
“Pergantian” kelamin itu dimungkinkan karena rumah sakit memberikan resep Hormon Puberty Blockers kepada anak-anakyang menderita “Gender Dysphoria.” Pengidap kelainan itu merasa tidak sreg dengan tubuhnya sendiri. Mereka ingin menjadi “lain” sesuatu yang “tidak dimilikinya.”
Hormon Puberty Blockers adalah hormon yang memblokir pertumbuhan alat kelamin yang tidak diinginkan, menghentikan pertumbuhan payudara untuk gadis puber, menunda menstruasi, atau perubahan suara, dan menyetop pertumbuhan “buah Apel” di kerongkongan anak lelaki remaja, misalnya.
Hormon itu diberikan oleh endocrinologue dengan persetujuan orangtua, setelah melakukan evaluasi psychiatrique.
Disphoria Gender menjadi patologi massal di Swedia, negara yang pertama kali mengakui Hak Transgender.
Untuk menceritakan apa yang terjadi pada anak gadis remajanya, Asa, seorang Ibu di Stockholm, Swedia, lebih suka memperlihatkan foto-foto perkembangan anaknya. Setiap bulan, ia memotret anaknya, yang berusia 14 tahun.
“Ini Johanna ketika dia mulai memotong rambutnya pendek sekali, dan membalut perutnya agar tampak ramping,” kata Asa.
Foto berikutnya, Johanna tidak pernah tersenyum lagi. Wajahnya kelihatan kurus. Ia jatuh sakit karena anorexie, selalu muntah setiap kali menelan makanan.
“Di rumah sakit, saya baru tahu, Johanna ternyata selalu mengikuti dan membaca akun Transgender di internet. Jadi, perlu dipertanyakan, apakah seseorang menjadi Transgender, itu karena kelainan bawaan dari lahir, atau karena terpengaruh oleh internet?” kata Asa geram.
“Johanna bilang, dia menderita Dysphoria Gender. Ia benci, dan tidak menyukai tubuhnya secara fisik. Dia ingin menjadi “lain (di luar) tubuh yang dimilikinya.”
Maka Johanna pun memutuskan untuk menjadi Kasper, seorang bocah laki-laki. Dia pun kelihatan mantap dengan penampilan barunya. Dia mengecat rambutnya. Dan, dia kelihatan “jantan.”
Namu pada usia 19 tahun, Johanna tiba-tiba kembali berpenampilan seperti perempuan.
“Selama lebih dari dua tahun, anak gadisku berganti gender, mengubah identitasnya. Untunglah, pada akhirnya Johanna mengakui kekeliruan pilihannya!” kata Asa, bersyukur.
Tapi, bagaimana dengan anak-anak lain, yang pada masa pubernya memutuskan untuk berganti “gender” seperti membongkar pasang onderdil kendaraan dengan resep yang DIRESTUI pemerintah?