Bagaimana menghadapi Taliban dalam jumlah yang kelak membesar, diinspirasi hubungan resmi Indonesia dengan Kalimantan – sedangkan menghadapi Taliban lokal saja, kewelahan tak berdaya? Kapolres dan Dandim di Sintang, Kalimantan Barat melakukan pembiarkan.
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
TOKOH tokoh yang mencintai NKRI telah mengingatkan agar kita hati hati melihat perkembangan Afganistan. Jangan tergesa gesa. Ideologi Taliban tidak berubah hanya dalam hitungan minggu atau tahun. Semudah mereka berjanji, semudah juga mereka akan mengingkari. Puluhan tahun mereka memegang senjata dan menggunakannya. Bengis kepada lawan, yang beda pemahaman.
Guru Bangsa, mantan Ketum Pengurus Muhamadiyah Pusat, Buya Syafii Maarif menyarankan agar Indonesia tak mudah termakan berbagai janji-janji Taliban. Buya meyakini mengubah ideologi tak akan semudah membalikkan telapak tangan
Taliban sebelumnya berjanji akan meniadakan konflik, amnesti kepada mereka yang berseberangan, atau memuliakan kaum perempuan. “Tapi kan belum tampak buktinya? Kita tunggu bukti dulu,” kata Buya Syafii ditemui di kediamannya, Nogotirto, Gamping, Sleman, DIY, Jumat (3/9), kepada CNN Indonesia.
“Berkuasa lima tahun itu Taliban membawa ‘keping neraka’ ke muka bumi. Semestinya kalau yang pakai (nama) Islam, membawa ‘keping surga’ ke muka bumi. Jangan dibalik-balik begitu. Orang yang tidak paham Islam itu menarik (kesimpulan) ini Islam, repot. Islam tidak seperti ini,” lanjutnya tegas.
Lagipula Taliban belum sepenuhnya menguasai Afganistan. Belum sah sebagai penguasa baru. Kekuatan perlawanan masih ada. Penyerahan kekuasaan resminya juga belum ada.
Tapi – selain itu, di negeri sendiri sudah cukup banyak Taliban yang membebani bangsa, merusak persatuan nasional, merusak kebhinekaan. Contoh paling aktual adalah perusakan dan pembakaran masjid uamh Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat. Cara cara Taliban sudah diperlihatkan terang terangan dan aparat tidak berdaya.
Bagaimana menghadapi Taliban dalam jumlah yang kelak membesar, diinspirasi hubungan resmi Indonesia dengan Kalimantan – sedangkan menghadapi Taliban lokal saja, kewelahan tak berdaya? Kapolres dan Dandim di Sintang, Kalimantan Barat melakukan pembiarkan.
Sulit dimengerti di abad 21 ini, di Bumi Nusantara Tercinta – masih ada penganut paham / keyakinan yang merasa berhak mengadili paham yang berbeda – merusak rumah ibadah penganut agama yang berbeda keyakinan. Dan aparat negara, yang ditugasi menjaga ideologi persatuan Indonesia, dalam naungan Pancasila, melakukan pembiaran. Mereka punya seragam, punya kewenangan, punya personil, punya senjata dan ada anggaran. Tapi menjadi penonton.
Bagaimana jika yang terjadi sebaliknya, rumah ibadah yang dimuliakan oleh Kapolres dan Dandim dan jajarannya yang dibakar?
Aksi perusakan rumah ibadah merupakan pesan dan peringatan kepada kita semua, terutama pemangku keamanan, bahwa Talibanisme sudah cukup meresahkan di Bumi Pertiwi. Kita sama sama harus mewaspadai.
DALAM catatan SETARA Institute, dalam Peristiwa Sintang, ada massa 200-an orang yang mengatasnamakan Aliansi Umat Islam Sintang dengan motor utama Persatuan Orang Melayu (POM), pada Jumat siang (3/9) melakukan penyerangan terhadap JAI di Desa Balai Harapan Tempunak – Sintang.
Massa melakukan pembakaran bangunan mushalla Jemaat, merusak dan mengobrak-abrik masjid Miftahul Huda yang dibangun oleh Jemaat.
Dalam pandangan SETARA Institute, kejadian penyerangan merupakan kulminasi dari tiga faktor. Pertama, ketundukan pemerintah daerah kepada kelompok intoleran. Sudah sejak awal Pemkab tunduk, mengeluarkan SKB Pelarangan Ahmadiyah atas tuntutan kelompok intoleran. Kedua, dinamika politik lokal. Beberapa elite bermain-main politik dengan kelompok intoleran demi dukungan politik, terutama saat Bupati sedang sakit dan Wakil Bupati diangkat menjadi Pelaksana Tugas (Plt).
Ketiga, kegagalan aparatur keamanan dalam mencegah terjadinya serangan dan menangani kekerasan yang dilakukan oleh penyerang di lokasi. Ancaman, intimidasi, dan indikasi kekerasan sebenarnya sudah mengemuka sejak jauh-jauh hari, terutama sejak awal Agustus.
LSM Pengawas Polri, Indonesia Police Watch (IPW) mendesak Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo mencopot Kapolres Sintang AKBP Ventie Bernard Musak, karena gagal memberikan perlindungan dan keamanan pada warga Jemaat Ahmadyah atas dirusaknya Masjid Miftahul Huda oleh segerombolan warga intoleran .
“Sebab, perusakan masjid dan pembakaran itu merupakan akumulasi dari tindakan-tindakan sebelumnya yang semestinya dapat diantisipasi Kapolres Sintang. Sehingga perusakan itu bisa dihindari serta keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) tetap terpelihara, “ kata Sugeng Teguh Santoso, Ketua IPW, dalam siaran pers yang baru diterima Seide.id.
Menurut IPW, kejadian perusakan rumah ibadah itu telah mencoreng citra Polri di masyarakat. Karena, Polri sebagai aparat pemerintah penegak hukum yang siap melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat dan menjunjung HAM terciderai oleh ulah Kapolres Ventie Bernard Musak yang melakukan pembiaran.
AKSI AKSI anarki, sekali lagi mengingatkan kita semua, agar kita tak buru buru menjalin hubungan dengan Afganistan yang baru – yang belum sah. Legitimated. Kita punya masalah internal dengan ideologi yang terkait, sepaham dengan mereka: Talibanisme.
Di sini, radikalisme agama dalam bentuk apa saja, HTI, Jamaah Islamiah, Mujahidin, New DI/TII, Ikhwanul Muslimin, pro Al Qaida, pro ISIS. Persamaan dari mereka, sama sama ingin mendirikan negara Islam, menolak Pancasila, anti demokrasi, anti golongan lain, anti paham lain, dan sama sama radikal. Anarkis, fasih menggunakan kekerasan dan senjata.
Menarik penegasan Menlu RI Retno Marsudi, mengenai sikap Indonesia sejauh ini. “(Kepada Taliban) kami tegaskan bahwa Indonesia tidak memiliki vested interests (kepentingan) di Afghanistan. Satu-satunya keinginan Indonesia adalah melihat Afghanistan yang stabil dan makmur,” kata Retno kepada Komisi I DPR saat rapat dengar pendapat pada Kamis (2/9).
Dalam pertemuan di Doha, 26 Agustus 2021 lalu, Retno Marsudi juga mengirim pesan agar Taliban tidak menjadikan Afganistan sebagai training ground teroris, menghormati hak perempuan dan berharap Afganistan memiliki pemerintahan yang inklusif. ***