Soal Pete, Jengkol Jadi Obat & Perkeliruan Dalam Berobat Lainnya

Masih hangat soal pete jadi obat, belum seumur jagung, ternyata terbongkar kalau itu tidak benar !

Hanya karena salah tafsir terhadap ucapan testimoni kesembuhan.. masyarakat kita cenderung lekas sekali percaya pada testimoni kesembuhan.
Sudah lebih satu kali saya buat tulisan kalau kita perlu lebih skeptik, tidak mudah percaya terhadap tawaran apa pun dalam berobat.

Tidak ada yang mudah dalam hal pengobatan.
Semakin kedengaran mudah dalam berobat, semakin tidak benar dimata medis.
Semakin suatu bahan berkhasiat diklaim bisa menyembuhkan penyakit apa saja, semakin besar bohongnya.
Dan itu yang perlu sll dicamkan dlm benak masyarakat, panduan berpikir secara nalar medis.

Tak cukup hanya berkhasiat, jangan dipilih kalau terbukti tidak aman.
Dunia kedokteran patuh pada kaidah itu.
Selain benar terbukti berkhasiat secara keilmuan, juga harus aman bagi tubuh.
Sisi harus aman ini yang perlu diingat masyarakat.

Obat Cina yang mengandung jahe hutan wild ginger, misalnya bersifat merusak ginjal (nephrotoxic) karena mengandung aristolochiacae.
Meski benar ramuan Cina tersebut memberi khasiat, namun karena ada bahan yang merusak ginjal (nephrotoxic) selain pencetus kanker carcinogenic n mutageni dari aristolochic acid dan aristolactam yang dikandungnya.
Karenanya obat Cina itu harus dinilai tidak aman.
Berkhasiat namun tidak aman, tidak boleh diterima sebagai obat, apalagi mengonsumsinya.

Sisi itu kelemahan pengobatan herbal, dan umumnya terapi alternatif, oleh karena hanya mengutamakan khasiat, namun mengabaikan aman tidaknya bila dikonsumsi !!

Bawang putih misalnya…tidak semua zat yang dikandungnya aman bagi tubuh.
Maka upaya mengekstraksi hanya mengambil zat berkhasiatnya saja, menjadikan bawang putih naik kelas menjadi phytopharmaca setelah dibuang zat lain yg dikandungnya yang bikin lambung meradang, selain bikin bau badan.
Jadi bawang putih kasar (raw material) tdk lebih menyehatkan dibanding yang sudah menjadi ekstrak dalam kapsul.

Mengubah bahan kasar (jamu) menjadi ekstrak perlu teknologi.
Teknologi membuat ekstrak bawang putih dari bawang putih mentah, itu yang harus kita membayarnya beberapa kali lipat lebih mahal.

Hal lain, bahwa untuk satu dosis berkhasiat bawang putih diperlukan mengekstrak dari beberapa siung bawang putih.
Tak cukup satu siung agar supaya berkhasiat.
Perlu beberapa siung bawang putih, dan tidak masuk akal medis pula harus diperoleh dari bawang putih ‘lelaki’.

Dulu tahun 80-an pernah ramai daun comfrey (baca kompring) sebagai obat dewa.
Sampai sekarang ada pohon buah dewa untuk segala penyakit.
Pernah ramai buah merah, sarang semut, belakangan buah atep, ocra ladies fingers, ceker ayam, dan banyak lagi, yang dimata medis dinilai menyesatkan.
Bukan tanpa khasiat, namun diklaim amat berlebihan.

Pikiran pihak pebisnis dan dunia industri menyederhanakan khasiat suatu bahan menjadi obat serba guna.
*Hanya karena suatu bahan berkhasiat banyak kandungan antioksidan misalnya, maka diklaim bisa mengobati kanker dengan asumsi, pencetus kanker antara lain sebab kebanjiran radikal bebas yang perlu diredam oleh antioksidan.
Hanya karena kaya kandungan collagen, maka diklaim menyembuhkan penyakit sendi, atau bikin kulit jadi muda kembali.

Lebih dahsyat lagi, ada ramuan yang mengklaim bisa meluruhkan tumpukan lemak plaque pembuluh darah jantung hanya dengan racikan bawang putih, jamur kuping, lemon, kismis, dan madu, atau sejenis itu lainnya.

Dunia medis masih terus mencari obat dan cara untuk merontokkan tumpukan lemak, dan belum ketemu.
Bila benar terbukti ada penemuan untuk yang bisa menyelesaikan plaque, tentu berhak mendapat Hadiah Nobel.
Buktinya kan tidak demikian.

Masyarakat perlu memahami bahasa statistik, dibelakang pembuktian ilmiah atau evidence based.
Suatu bahan berkhasiat diterima sebagai obat kalau diberikan untuk 100 kasus yang sama, memberikan kesembuhan yang sama shg bahan berkhasiat tsb terbukti menyembuhkan secara signifikan.
Begitu bahasa statistiknya.
Namun kebanyakan, atau hampir semua kesembuhan non-medis tidak menganut kaidah ini.
Hanya beberapa saja yang berhasil sembuh, sudah dianggap bisa menyembuhkan semua.
Hanya beberapa orang yang sembuh, yang promosi lewat testimoni, sementara yang lebih banyak tidak sembuh, diam seribu basa.

Kasus pete misalnya, hanya testimoni seseorang dengan kasus tertentu, didengar sebagai bukti meyakinkan.
Padahal yang terjadi kalau itu adalah salah persepsi, ucapan putier sebagai suplemen, yang terdengar sebagai pete atau petai.
Tragis kan ?

Testimoni kesembuhan non-medik sering dimanfaatkan oleh pihak pebisnis, oleh pihak industri, untuk mengambil keuntungan dengan cara yang sama sekali tidak ilmiah.
Memanfaatkan keawaman masyarakat yang hanya pihak dunia medik yang bisa menyanggahnya.

Sudah lama saya sengaja mengamati pengobatan alternatif di sejumlah program TV kita, dan saya menilai semua penjelasannya tak masuk akal medis.
Sekurangnya ada 7 stasiun TV yang menyiarkan terapi alternatif, dan baru-baru ini mulai diberikan peringatan oleh Kementerian Kesehatan, karena sudah banyak menyesatkan masyarakat.

Fakta yang terjadi begitu banyak kerugian yang diderita masyarakat akibat keliru memilih alamat berobat.
Kasus kanker, dan banyak penyakit menahun yang telanjur menjadi gagal diobati medis, hanya karena sebelumnya mampir-mampir dulu di orang pinter, dan cara pengobatan (therapy) dan penyembuhan (healing) non-medis.

Kasus kanker stadium awal yang mestinya masih mungkin disembuhkan pihak medis, karena memilih terapi alternatif selama bertahun-tahun, dan belum tentu lebih murah, lalu oleh karena tidak menyembuh sehingga malah stadium kankernya meningkat menjadi bertambah parah.
Pada saat kankernya sudah memasuki stadium lanjut dan baru minta obat dokter, pihak medis sudah angkat tangan.
Salah siapakah ?

Sebagian masyarakat mengungkapkan, pasien beralih ke pengobatan alternatif karena alasan obat dokter lebih mahal, atau layanan medis tidak memuaskan, sudah saatnya tidak dijadikan alasan lagi.

Dunia medis memerlukan waktu puluhan tahun untuk menemukan suatu obat, dengan bukti ilmiah.
Dan itu pun belum selalu teruji derajat keamanannya, bisa saja setelah sekian lama, baru muncul efek buruknya.
Apalagi bila bahan berkhasiat sejak awal sudah terbukti tidak aman, sangat sesat kalau masyarakat masih memilihnya.
Terlebih kalau sesungguhnya sama sekali tidak berkhasiat. Berkhasiat tapi tidak aman pun tidak boleh dipakai !!

Kisah seorang pejabat yang menjadi korban gagal ginjal lantaran makan obat Cina untuk encok, harusnya menjadi pelajaran mahal bagi semua masyarakat.
Dan itu selalu saya ungkap dalam setiap kali kesempatan seminar saya mengangkat topik pengobatan alternatif.
Pejabat ini, yang pernah ikut seminar saya mengaku menyesal, karena terlambat tahu kalau obat Cina yang dikonsumsinya mencelakakan ginjalnya.

Dunia kedokteran bukannya tidak mengakui kehadiran pengobatan alternatif.
Yang keliru dipersepsikan masyarakat setiap apa saja yang bersifat non-medis diterima sebagai cara alternatif.
WHO mengakui akupunktur, akupresur, homeopathy, chiropractic, dan beberapa lainnya sebagai complementary alternative medicine (CAM), tapi tidak semua yang alternatif bisa diterima akal sehat dunia medik.

Kalau saya berkali-kali dan tidak jemu menuliskan ini di posting FB, artikel kesehatan, serta dalam buku saya, lalu mengungkapkannya dalam salah satu slide power-point seminar saya ‘Sehat Itu Murah’, itu karena kerisauan dan keprihatinan saya terhadap begitu banyak masyarakat yang tersesat dalam berobat, dan kmdn merugikan masyarakat.
Kerugian yang dialami itu belum tentu bisa dipulihkan kembali, kalau bukan membawanya sebagai korban kehilangan nyawa.

Niscayalah, tidak ada yang mudah dalam mengobati.
Kalau dunia medis sudah punya obat dan cara untuk kesembuhan, kenapa harus memilih yang lain.

Tidak ada alasan lain yang lebih berharga untuk tetap memihak pada pengobatan medis, sebelum Anda telanjur menjadi korban yang penyesalannya bisa Anda rasakan seumur hidup.

Salam sehat,
Dr Handrawan Nadesul.

Ikuti : Dokter Bisa Salah Pasien Belum Tentu Selalu Benar