Peti Mati, Bisnis yang Tak Pernah Mati

Kalau manusia tidak pernah mati, baru bisnis peti mati akan mati,” ujar Suwardi alias Wardi Trebelo, 63, salah satu pembuat peti mati

Oleh EDDY. J. SOETOPO

Bisnis apa yang tidak pernah mati? Jualan peti mati. Jawaban yang tak pernah terlintas dalam benak para calon pebisnis sekalipun. Dimanapun yang namanya bisnis, pasti ada pasang surut, bahkan colaps, dan kemudian mati. Tapi siapa sangka bisnis yang satu ini justru tidak akan pernah mati, kecuali kalau seluruh manusia tidak akan mati.

“Kalau manusia tidak pernah mati, baru bisnis peti mati akan mati,” ujar Suwardi alias Wardi Trebelo, 63, salah satu pembuat peti mati. Kalau hanya jualan batu nisan, ujar dia menambahkan, pedagang bisa bangkrut karena sekarang sudah tidak banyak orang melakukan peringatan nyewu dino –peringatan meninggalnya seseorang setelah 1000 hari (red)– dengan meletakkan kijing (batu nisan). “Kalau zaman dulu peringatan nyewu dalam tradisi Jawa suatu keharusan. Sekarang’kan sudah tidak demikian.”

Menurutnya, kemungkinan bisnis jual-beli batu nisan, masih bisa bangkrut ada. Apalagi sebentar lagi, Pemkot Solo akan menertibkan tanah pemakaman dengan Peraturan Daerah (Perda). Kalau tidak salah, ujar Suwardi lebih lanjut, batu kijing nantinya akan dilarang.

“Saya tidak tahu benar atau tidak itu menertibkan makam. Melarang pakai kijing di pekuburan. Dengar-dengar ndak boleh, jadi pemakaman bisa ditumpuk setelah beberapa tahun tidak terurus. Itu kan bisa mbangkrutin penjual kijing,” kata dia.

Tapi kalau yang namanya jual peti mati, siapa yang berani ngatur dan melarang membuat trebelo. Jadi misalnya, ujar dia menyarankan, kalau situ mau bisnis, yang paling masuk akal dodolan trebelo, peluangnya masih terbuka lebar. Hanya saja, tidak banyak orang yang tertarik memasuki bisnis jual-beli peti mati.

Jangankan orang lain, bahkan keluarga sendiri ogah membantu. Binis peti mati dianggap mengharapkam orang mati. (Foto foto : Eddy J.S)

“Padahal dagang trebelo selain untungnya banyak, pembelinya tidak rewel. Mana ada orang yang legi kesusahan, membeli trebelo dinyang –ditawar (red)– Atau membuat peti mati masih terbuka peluangnya. Cuma ya itu orang tidak banyak yang tertarik,” ujar dia.

Biasanya, menurut Suwardi, selain banyak pantangan dan tidak lazim, bisnis jual-beli peti mati, juga acapkali ditentang keluarga. Sewaktu dirinya baru memulai bisnis berjualan peti mati, tidak hanya isterinya yang menentang, tetapi mertuanya dan orangtuanya sendiri menentang habis-habisan.

“Bisnis peti mati, meski pun memperoleh berkah karena membantu mengantarkan jenasah ke tempat peristirahatan, tetapi tetap saja banyak orang beranggapan, mujèkké wong mati,” kata dia mengenang masa-masa sulit 32 tahun lalu.

Penghalang dari keluarga dekatnya, tidak menyurutkan niat Suwardi mulai bisni membuat peti mati. Ia mempelajari dengan seksama, cara membuat peti mati dari hal yang paling sederhana, memilih kayu bahan. Memasah, ngragji sendiri dan kemudian membalut dengan kain satin putih dikerjakannya tanpa bantuan tenaga orang lain.

“Jangankan mbayar orang, saudara sendiri saja dulu tidak ada yang mau membantu. Mau cari orang juga sulit. Kalau ditanya kerjanya buat trebelo, apalagi. Tapi itu dulu. Sekarang sudah tidak lagi. Malah banyak orang yang nyari kerjaan ke sini,” ujar dia.

Menurut penuturan bapak 4 anak 6 cucu ini, pekerjaan apapun jenisnya bukan menjadi persoalan kalau memang jalan hidup telah ditentukan dari ‘atas’ dan harus ditekuni. Sebab, tutur pria yang pernah dicap sebagai simpatisan partai terlarang itu, kehidupan tetap harus menurut garis.

“Sewaktu zaman banjir bandang tahun 66 dulu, setelah peristiwa paten-patenen saya memperoleh rejeki dari peristiwa itu. Banyak orang yang meninggal dan pesan trebelo ke sini. Soale tidak banyak yang jualan trebelo. Bisa dihitung dengan jari,” tutur dia.

Sejak itulah, Suwardi mulai merangkak moncer menemukan jati dirinya sebagai pembuat trebelo. Ia mengaku keuntungannya membuat peti mati boleh dikatakan cukup untuk menghidupi keluarganya saat itu. Apalagi, katanya, harga kayu zaman dulu lebih murah dibandingkan saat ini. Menurutnya ia memilih bahan dari jenis Sengon, bukan kayu Jati.

“Tetapi ada juga keluarga yang menginginkan jenis kayu Jati Londo. Tergantung pesanan. Cuma sangat jarang dibuat. Mana ada yang memesankan trebelo keluarganya sebelum mati. Pasti memilih membeli peti mati yang sudah jadi,” katanya. Modalnya pun, tambah dia, tidak terlalu besar. “Paling banter disiapin Rp. 5-10 juta ditambah peralatan tukang kayu beli dari rombengan, saya kira sudah cukup. Hanya saja, asal bukan trebelo Chino. Kalau ini selain mahal, modale besar. Siapa berani dodolan trebelo. Bisnis yang menurut orang lain dianggap tidak wajar. Sampeyan berani?” Tanya dia seraya terkekeh .***

Avatar photo

About Eddy J Soetopo

Peneliti Media Massa, Anggota AJI Solo, Direktur Eksekutif Institute for Media and Social Studies ( IMSS), Pemimpin Redaksi sarklewer.com. Penggemar kuliner. Tinggal di Kota Solo.