Pilih Capres Pintar Tapi Tidak Baik Atau Kurang Pintar Tapi Baik?

Seide. id -Tentu idealnya harus pintar selain baik. Namun andaikata pilihannya seperti judul di atas, sebagai rakyat kita sebaiknya memilih yang manakah? Kita merasakan sekarang bukan saja kepala negara dan pemerintahan, pernah kalau bukan sering kalangan legislatif, yudikatif pun belum semuanya pintar dan baik.

Waktu Ronald Reagan, presiden AS ke-40 nyapres dulu, pengamat menyangsikan, apa kalau jadi presiden tidak muncul pemimpin gaya koboy mengingat rekam jejaknya bintang film koboy. Selain syarat konstitusi dipandang perlu mempertimbangkan kualifikasi informal. Termasuk menilai kepribadian dan kondisi mental mengingat belajar dari sejarah tua demokrasi AS kemudian terbukti kualifikasi informal tak bisa diabaikan. Mengapa?

Lantaran belum ada sekolah menjadi presiden. Kita belajar dari sejarah demokrasi seperti apa idealnya presiden yang laik rakyat pilih. Pintar (smart, inteligen), ambisius, menjunjung tinggi kebenaran, pekerja keras, betul menduduki rating tinggi dimiliki semua presiden AS yang pernah masuk Gedung Putih (Psychologist assess the President, Brassey, 2004). Namun dalam perjalanan berdemokrasi, kualifikasi itu saja dinilai belum cukup.

Orang baik
Diyakini capres perlu berkarakter baik, moralitas dan etikanya mumpuni, selain kehidupan pribadi bersih, berkemampuan public speaking, dan punya kharisma. Kelebihan ini yang menjadikan John F. Kennedy mengungguli Richard Nixon.

Lain dari itu untuk sukses menjadi presiden, pintar saja tidak cukup. Otak brillian tapi tidak bisa bicara, tak menyambung dialog dengan rakyatnya dialami Woodrow Wilson, satu-satunya presiden yang PhD, namun dinilai tidak sukses. Diyakini presiden perlu punya spirit juang keras meraih goal yang tinggi (achievement striving). Kelebihan ini dimiliki Theodore Roosevelt dan Abraham Lincoln. Diniscayai sukses presiden ternyata butuh motivasi tinggi untuk meraih yang terus lebih baik.

Tak cuma itu. Diperlukan pula kestabilan mental, keterampilan berdebat, serta terbilang diapresiasi media. Harus didiskualifikasi kendati memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat namun dinilai membahayakan bila capres arogan, brutalitas, favoritism, dan kurang berperasaan (callousness).

Tak cukup capres punya kepribadian solid semata, kalau kehidupan tata nilainya (value system) serba kering. Unsur kebaikan seperti kejujuran, bertanggungjawab, loyal, independent, pengasih, pemaaf, berani karena benar, santun, bersih, berpikir logik, berwawasan luas, untuk menyebut beberapa instrumental value (Scott Golden & Donald Jonhson) syarat lain yang perlu ikut dipertimbangkan. Syukur-syukur kalau capres punya tipe kepribadian pemikir (ENTJ, leader thinking personality) yang lebih cocok ketimbang berkepribadian feeling (ENFJ, coach feeling personality).

Pemimpin tipe pemikir (ENTJ) berpikir logik, kapabel, independen, berambisi tinggi sebagaimana ditunjukkan seorang Barrack Obama. Sebaliknya kendati memiliki kepribadian solid sebagai leader namun buruk sikap nilai kehidupannya, bukan capres pilihan ideal. Mengapa? Oleh karena bila sudah terbentuk bukan orang baik tak ada cara (exercises) mengubahnya menjadi baik.

Orang tidak baik tergolong bermasalah. Cenderung toxic person dalam organisasi atau administrasi pemerintahan. Orang begini terganggu fungsi cognitive, rasa moralitas, mind sets, sukar berubah, berdusta untuk menutupi kekurangtahuan banyak hal. Diniscaya pengidap “wet brain” seperti ini tak laik jadi pemimpin. Terlebih bila sociopathy, yang berpotensi destruktif bila menduduki posisi publik, termasuk kalau jadi presiden.

Presiden Jimmy Carter punya kualifikasi informal paling lengkap unsur baiknya, selain tergolong berkarakter. Bahkan memiliki score tinggi untuk achievement striving. Namun ia presiden yang menghadapi hambatan mengimplementasikan kebijakan yang diambilnya. Konon sebab ia kurang tegas dan bahasa publiknya kurang taktis berdiplomasi.

Tak mudah mengubah orang tidak baik
Supaya mendapatkan capres paling mendekati kualifikasi idealnya, perlu tes kepribadian selain tes mental. Sepenuhnya itu bagian dari tes kesehatan (total fitness). Capres tak cukup sehat badan, jiwa, sosial dan spiritual belaka, perlu pula melihat indentifikasi kepribadian, selain kondisi mental-behaviornya. Selain menempuh tes kecerdasan IQ (Wechsler adult intelligence), ada baiknya tes EQ (emotional quotient) juga mengingat peran kecerdasan emosi melebihi peran IQ untuk mengantar seseorang menuju sukses.

Jangan abaikan melihat kemungkinan gangguan atau kelainan mental (personality inventory instrument). Uji virtue yang memastikan adakah unsur ketidakbaikan (vice) seperti arogan, dungu, picik, brutal, atau pendendam pada diri capres, jangan sampai dilewatkan.

Bila dari serangakain tes kejiwaan dan mental kedapatan capres bukan orang baik, kendati pintar selayaknya mendiskualifikasi. Capres kurang pintar masih bisa ditambahkan pengayaan agar menjadi lebih pintar. Tapi kalau sudah telanjur bukan orang baik, tak ada cara untuk mengubahnya menjadi orang baik.

Idealnya kita mendapatkan presiden yang pintar juga orang baik. Memilih presiden bukan orang baik sekalipun pintar, bukan saja tak kunjung tiba menyejahterakan rakyatnya, terlebih hadir pemimpin yang berbahaya (dangerous leaders) di mata rakyat dan dunia.

Salam politik,
Dr Handrawan Nadesul

Masalah Bangsa Bermula Dari Kekacauan Karakter