Dari Indonesia, Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin meminta pemerintah Belanda mengajukan permohonan maaf secara resmi kepada pemerintah Indonesia terkait keterlibatan Belanda dalam perbudakan di Indonesia.
Wapres KH Ma’ruf beranggapan, pernyataan maaf yang disampaikan oleh Perdana Menteri Belanda Mark Rutte itu belum resmi karena tidak ditujukan langsung kepada pemerintah Indonesia. “Jadi kalau tidak jelas, belum resmi, itu sampaikan saja kepada pemerintah, nanti pemerintah akan merespons seperti apa,” ujar Ma’ruf.
KH Ma’ruf mengatakan, pemerintah akan merespons setelah permintaan maaf secara resmi diserahkan kepada Indonesia. “Ya, kalau dia memang itu (meminta maaf) ajukan aja resmi kepada pemerintah, nanti pemerintah akan merespons. Seperti apa responsnya kan itu nanti pemerintah memperbincangkan itu,” kata Ma’ruf dalak keterangan pers di Bali, Jumat (23/12/2022).
Dr Abdul Wahid, akademisi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan fokus penelitian sejarah sosial-ekonomi Indonesia dan Asia Tenggara, kolonialisme, dan dekolonisasi mengatakan permintaan maaf ini adalah “niat baik yang perlu diapresiasi.”
“Karena ini menunjukkan adanya perubahan persepsi mereka tentang masa lalunya,” katanya, sebagaimana dikutip dari ABCNew. “Dan bagi Indonesia, ini kesempatan untuk bisa memahami dan melihat secara kritis sejarah kita sendiri … bahwa kolonialisme adalah sesuatu yang jahat dan merugikan Indonesia secara keseluruhan, dan kita menjadikan itu basis nasionalisme kita.”
Namun, menurut Dr Abdul Wahid bagian sejarah itu perlu dilihat dari sisi yang lebih luas.
“Jangan sampai gara-gara kolonialisme, kita selalu menyalahkan Belanda untuk apa pun yang buruk yang ada di masyarakat, … jangan lupa bahwa gara-gara kolonialisme itu sebenarnya nusantara disatukan menjadi satu ‘political unit’ yang namanya Hindia Belanda, yang kemudian kita teruskan menjadi Indonesia.”
Selain itu, Dr Abdul Wahid menilai permohonan maaf jadi momentum bagi Indonesia untuk merefleksikannya. “Kalau penjajah saja yang sedemikian lama melakukan pelanggaran hak asasi, katakanlah, pada akhirnya sekarang sampai ke tahap ini, kita sebagai bangsa juga harus bisa berbesar hati untuk mengakui apakah ada yang salah dalam sejarah kita dan ini tantangan yang besar untuk kita.”
Ia menambahkan, permohonan maaf juga menjadi penting bagi Belanda sendiri, karena mereka sangat terbebani dengan sejarah mereka sendiri, sehingga mencoba membebaskan diri dari belenggu masa lalu tersebut.
Terkait dampak permohonan maaf ini terhadap perdebatan isu pengembalian barang-barang bersejarah yang dijarah Belanda, ia meminta Indonesia untuk memikirkannya dengan sangat serius.
“Kita juga harus kritis, jangan sampai pengembalian objek itu kemudian [seolah] mencuci bersih masa lalu mereka.”
“Saya pribadi berpendapat, biarkan saja barang-barang itu ada di sana, yang dikembalikan mungkin tidak perlu semuanya karena susah dan akan bikin masalah yang baru juga … biarkan di sana dan menjadi bagian monumen kolonialisme mereka.”