“Pohon tumbuh tidak tergesa-gesa” (Anonim).
Mungkin ada yg menanggapi: “Ya karuaaan”. Tapi, ‘moral’ dari ungkapan itu adalah: “Apa pun atau semua yang terjadi, sebaiknya melalui proses. Tidak ujug-ujug atau instan”. Di zaman serba instan sekarang ini, adakah ungkapan seperti itu, masih ‘bunyi’?
Di halaman mungil rumahku -persis di dekat tiang beton pagar halaman- pernah tumbuh pohon yang mirip pohon kedondong. Dugaanku benar. Itu adalah pohon kedondong hutan. Penjual tanaman mengatakan bahwa pohon (yang baru setinggi orang dewasa) itu akan tumbuh besar dan tinggi sekali.
“Mungkin pintu pagar rumah bapak akan roboh”.
Aku kira dia bergurau. Ternyata benar. Pohon kedondong hutan itu tinggi, diameter batangnya besar, hampir merobohkan tiang pintu pagar dan membuat lantai halaman -yang disemen selebar jalan setapak- retak-retak, karena terangkat oleh akar sang kedondong hutan. Akhirnya, dengan berat hati, pohon itu aku tebang.
Beberapa tahun lalu kami, aku dan istri berkesempatan berkunjung ke Arab. Arab boleh dibilang adalah negara terbesar di jazirah timur-tengah. Arab dikelilingi oleh Yaman dan Oman di selatan, Uni Emirat Arab, di sebelah timur, Iran di utara, Irak di utara agak ke timur, Yordania di utara agak ke barat dan Mesir di sebelah barat, terpisah laut merah.
Arab, tandus. Negara-negara lebih kecil di sekelilingnya pun demikian, tapi tak setandus Arab. Yordania agak sedikit hijau dengan perdu dan pepohonan. Uni Emirat Arab mulai sedikit-sedikit menghijau dengan pepohonan. Sedikit agak kehijauan itu, terjadi karena…kekayaan. Hlo, adakah hubungan antara kehijauan dan pepohonan dengan kekayaan? Yaa, kalok di jazirah timur tengah ada doong, ah.
Soal hubungan antara kehijauan, pepohonan dan kekayaan, salah seorang pemandu wisata kami, bercerita bernada gurau (tapi sungguh aku percaya, hihi), begini:
Jika di Indonesia, ukuran atau simbol kekayaan, bolehjadi adalah: (meminjam syair lagu Mus Mulyadi – Favorit Grup)…
“Omah gedong magrong-magrong susun telu”. “Punya mobil mewah, lebih dari satu”. “Berpenampilan mentereng”. “Memakai perhiasan (biasanya di mantenan dan perhelatan lain bahkan ‘sekadar acara reuni’), trek-jentrek di sekujur tubuh”.
Hlaa, di Arab ‘ukuran’nya lain lagi. Pemandu wisata kami, bilang begini:
“Jika kita nanti melewati suatu perumahan, yang di depan rumahnya terdapat banyak pepohonan,…naah, itulah rumah orang kaya. Dan jika di sekeliling rumahnya terdapat banyak pepohonan, berarti orang itu kaya sekali, atau kaya-raya. Kalok anak milenial bilang:…tajiiirrr melintiiirrr!
Sebab, pepohonan itu, ‘satu paket’ dengan cenkunek-cengkunek lain. Misalnya parawatan (harus profesional karena yang ditanam adalah pohon tropis di negri tandus).
Penyiraman yang harus berhati-hati dan intens. Bahkan,…(siap-siap tercengang),…untuk tanaman tertentu mereka bukan cuma membawa pohon, tetapi pepohonan…setanah-tanahnya yang memungkinkan pepohonan itu bisa tumbuh.
Ukuran kekayaan di Jepang lain lagi. Terus-terang aku tak tahu, apa ukurannya. Tokyo adalah kota terpadat nomor 1 dari 10 kota terpadat di dunia.
Th 2018 saja penduduknya berjumlah 37, 4 juta jiwa. Konon, masyarakat Tokyo, jika melihat orang mengendarai mobil pribadi memasuki kota megapolitan Tokyo, maka bisa dipastikan orang itu adalah ‘orang kampung’ atau orang dari luar Tokyo. Karena orang Tokyo jika pergi-pulang kerja atau beraktifitas, menggunakan kendaraan umum.
Orang Tokyo ‘ogah banget’ mengendarai mobil pribadi. Ribet, biaya perawatan dan parkir yang sangat tinggi. Hihi,…bandingkan dengan kita. Jika memasuki hari besar atau hari libur. Kita di sini justru bermobil ke kampung halaman. Bermacet-macet di jalan. Dengan mobil (baru, seken atau bahkan mobil sewa’an), selain bersilaturahmi, sala-satunya adalah untuk ‘mengumumkan’ kepada segenap tetangga di kampung, tentang keberhasilan kita di kota besar.
Kembali kepada ‘pepohonan adalah kekayaan’. Orang Jepang -lepas daripada mereka setuju atau tidak dgn ungkapan itu-agaknya mereka memperlakukan pohon ‘dengan hormat’.
Suatu ketika, sebuah pemda, pemprov atau sejenis itulah, membangun infrastruktur, dalam hal ini, membangun jalan. Pembangunan jalan itu, terlanjur menabrak pohon. Jika bisa dihindari, misalnya dengan berbelok, membuat terowongan atau melambung membuat fly-over., mungkin mereka lakukan. Tapi karena semua solusi itu tak mungkin dilakukan, maka akhirnya mereka terpaksa…menebang pohon yang menghalangi itu? Bukan saudara. Bukan! Tapi mereka memindahkan pohon itu dengan hati-hati dan hormat. Apakah pohon itu pohon (hahaha) keramat? Entahlah. Tapi yang jelas, pohon itu dipindahkan, diangkut setanah-tanahnya!
Pemda di salah-satu wilayah di Jepang itu mungkin beranggapan bahwa memindahkan pohon adalah memindahkan kehidupan.
Mari kita bandingkan dgn sikap sembrononya kita memperlakukan alam. Jangankan di pelosok negri ini, di tengah-tengah hutan yang notabene tak terlihat dan tak diketahui khakayak. Bahkan di sebuah taman penting, di monumen nasional, di depan hidung istana negara,…puluhan pepohonan yang berusia lebih dari seratus tahun,…tega-teganya ditebangi untuk sebuah proyek ambisius yang sampai sekarang tak jelas juntrungannya.
Dan, tak seorang pun berusaha mencegahnya. Sungguh absurd!…
Ilustrasi: Pemda di suatu daerah di Jepang, ketika terpaksa memindahkan pohon (setanah-tanahnya supaya cocok di lahan baru) karena di tempat pohon itu tumbuh, akan dibangun jalan.
(Aries Tanjung)