Seide.id – Potong kompas, itu hal biasa yang sering kita lakukan, ketika jalanan macet. Kita mencari jalan ‘tikus’ atau alternatif, agar lolos dari kemacetan, dan berharap sampai di tujuan lebih cepat dan selamat.
Potong kompas untuk mencari jalan yang lebih dekat dan singkat itu baik, asalkan kita tidak melanggar rambu lalu lintas, aturan, tata tertib, atau hukum. Selain membahayakan diri sendiri dan orang lain, juga merugikan pihak lain.
Hal itu saya alami pagi tadi, ketika berjalan kaki menuju toko. Saya jalan di trotoar, tapi diklaksoni oleh pesepeda motor.
“Tolong Pak, jalan agak minggir,” kata seorang pemuda sambil melambatkan laju motornya.
“Maaf Mas, ini trotoar. Mas yang lawan arus,” kata saya santai. Pemuda itu berhenti menatap saya, dan saya ganti menatapnya. Saya lalu cuek, tidak menanggapi, dan terus berjalan.
“Semoga harimu menyenangkan,” kata saya lirih.
Merasa Benar
Disadari atau tidak, kendati berbuat salah kita sering merasa benar. Kita melawan arus, karena tempat yang dituju itu dekat. Sedang jalan memutarnya jauh, dan tidak ada polisi. Lalu jalan motor lewat pinggir, kendati melawan arus itu dianggap benar, sehingga menjadi kebiasaan.
Begitu pula bagi mereka yang parkir motor-mobil, atau pedagang kaki lima di trotoar tanpa merasa bersalah, meski menghalangi pejalan kaki.
Potong kompas itu terjadi tidak hanya di jalanan, tapi, juga di sektor usaha, birokrasi, dan sebagainya.
Faktor yang mempengaruhinya antara lain waktu lebih cepat selesai, praktis, dan efisien. Kendati harus mengeluarkan biaya ekstra, asalkan memperoleh proyek atau pekerjaan jadi lancar dan sukses.
Sedang di bidang usaha, potong kompas itu dilakukan oleh mereka yang kehilangan etika bisnis, karena ingin memperoleh pelanggan. Salah satu caranya, pabrik bergerilya masuk ke luar kampung untuk menawarkan dagangannya ke industri rumahan atau lewat online.
Siapa yang salah dan kalah? Mereka yang menyesali diri dan diam tidak mau berjuang kembali untuk mencari pelanggan baru.
…
Mas Redjo /Red-Joss