Presidennya Langsing, Menterinya Tambun

Seide.id – Kita melihat para menteri dalam Kabinet Kerja JokowiJK dulu dan kini lebih separo berukuran tambun. Betul, secara politik bukan soal kalau presidennya ramping, dan menterinya montok. Namun dari aspek medik, sungguh perlu diperhitungkan.

Tanpa diserbu beban kerja saja pun orang kelebihan berat sudah dirundung puluhan penyakit, apalagi kerja sekaliber menteri.

Mohon maaf kalau statistik Amerika Serikat menyebutkan 112 ribu penyebab mati muda (premature death) berkorelasi langsung dengan kegemukan (BMI body mass index lebih dari 30). Belum lagi kalau menyadari pekerjaan sekelas menteri stressornya amat tinggi. Sehat badan saja kalau dirundung stressor bertubi-tubi, badan sebugar apa pun akan kalah juga. Apalagi kalau status badan sudah kurang sehat oleh akibat yang ditimbulkan kelebihan berat badan.

Gemuk sebagai “bom waktu”

Kini gemuk sudah mewabah di dunia. Tak kurang sepertiga populasi, atau 2,1 milliar manusia tergolong kegemukan, atau indeks massa tubuh lebih dari 25. Populasi orang gemuk Indonesia 40 juta orang atau sebanyak penduduk Jawa Barat, masuk 10 besar penduduk banyak orang gemuk dunia. Mereka strata menengah atas, bagian dari bonus demografi, yang hidupnya kian sejahtera.

Dua dekade lalu gemuk masih dianggap status simbol. Orang berlomba menjadi gemuk karena dilabel bonafid kalau tampak tambun, dan sebaliknya kurang meyakinkan bila tampangnya kerempeng. Namun mengamati penduduk Eropa, disimbolkan makin tidak gemuk makin dinilai intelek. Hanya kalangan pekerja kasar (skill) yang dilumrahkan bila kelebihan berat badan.

Perhatikan para menteri Singapura, hampir tidak ada yang tambun, karena negara menaruh perhatian besar pada rakyatnya. Anak sekolah yang kelebihan berat badan wajib berlari lebih banyak supaya tidak telanjur gemuk. Bahkan urusan asupan garam dapur di restoran pun negara ikut campur, supaya rakyat tidak darah tinggi.

Betul. Gemuk harus ditekan sejak dalam kandungan. Bayi lahir idealnya tak lebih dari 3 Kg, untuk itu kehamilan perlu dirancang. Anak sehat itu tidak gemuk, juga tidak kurus.

Orang dipastikan menjadi tambun kalau sejak kecil sudah kelebihan berat badan. Selain sel tubuhnya lebih banyak dibanding bayi normal, ukuran selnya juga lebih besar. Kondisi itu yang tak memungkinkan kasus kegemukan dengan gampang bisa dikempiskan. Perlu waktu lima tahunan untuk menurunkan berat badan seturut logika medik.

Pada tubuh yang kegemukan bersarang semua penyakit degeneratif. “Bom waktu” itu sebut saja serangan jantung, stroke, kencing manis, selain darah tinggi, batu empedu, dan gagal ginjal. Sayang kalau itu sampai menimpa menteri yang sudah susah-susah dipilih, orang kapabel, mumpuni, dan berintegritas tinggi, harus dirongrong oleh sejumlah penyakit menahun (chronic diseases). Penyakit yang galibnya berujung masuk kamar gawat darurat, sering tanpa harapan sembuh.

Belum terlambat untuk membatalkan

Menteri Kabinet Kerja sudah dilantik, namun belum tahu status kesehatan para menterinya seperti apa. Belum terlambat untuk diantisipasi sekiranya kedapatan kurang sehat. Katakan sudah berstatus pemula kencing manis, harus langsung ditekan agar diabetiknya tidak harus muncul. Kebanyakan orang gemuk rentan jadi kencing manis sebab insulin resistance.

Kita tahu komplikasi kencing manis merusak banyak organ tubuh, yang berarti mengganggu kinerja.
Untuk melihat jantung sudah bermasalah tidaklah sukar. Dengan mudah bisa ditilik dengan scanning (MS-CT multislices CT-scan), sehingga sudah bisa diketahui persis status jantungnya apakah sudah ada calon sumbatan koroner, atau belum.

Kita tahu proses menjadi terserang jantung koroner butuh waktu puluhan tahun, siapa tahu sekarang ada menteri yang sedang dalam proses menuju ke situ, maka perlu diantisipasi. Yang sama untuk kemungkinan apakah sudah berstatus awal stroke.

Hanya dengan scanning kepala terungkap bagaimana kondisi pembuluh darah otak apakah sudah proses menjelang serangan stroke. Termasuk memindai sekujur organ tubuh, khususnya yang menyangkut penyakit degeneratif, untuk mengantisipasi, termasuk kemungkinan kanker, sekaligus upaya membatalkan kemungkinan terburuk yang terantisipasi kelak bakal menimpa.

Semua kondisi penyakit, calon penyakit, sekiranya ada menteri yang kedapatan berisiko paling buruk pun masih mungkin dikoreksi oleh tangan medik, sehingga tidak sampai ketika di tengah jalan, ada menteri yang terserang jantung koroner, stroke, atau sudden death oleh tumpukan risiko terserang penyakit yang sudah dibawanya sekarang.

Perlunya ikut campur negara
Soal kelebihan berat badan sudah waktunya negara ikut campur. Sebagai keteladanan kita sudah punya presiden yang tidak gemuk.

Diharapkan untuk meniscayainya Menteri Kesehatan pun arifnya tidak sampai kelebihan berat. Namun itu saja belum cukup.

Mengamati populasi generasi muda (“Platinum Generation”) kita sekarang ini yang menjadi gemuk lantaran asupan gizinya berlebihan porsi, selain aktivitasnya lebih banyak duduk (sedentary life style). Perlu upaya mengalihkan aktivitas yang lebih banyak bergerak, termasuk ragam olahraga dan bergerak badan agar terhindar gemuk dan jantung sudah sehat sejak di bangku sekolah (“cardio-friendly”).

Untuk itu kembalikan jenis permainan yang banyak berlari di sekolah seperti sekolah zaman dulu. Kurikulum pendidikan jasmani di sekolah perlu direvitalisasi, selain mendidik anak sekolah makan dengan kepala, bukan dengan hati.

Tidak sulit menyelenggarakan gerakan nasional tidak gemuk sekiranya negara mau melakukannya. Sayang populasi kelas menengah kita, para pengisi bonus demografi, kalau sampai berkualitas memikul risiko mati muda hanya karena suntuk mengejar karier dan lupa kalau kesehatan juga ikut menentukan kesuksesan hidup. Juga sukses tidaknya menjadi seorang menteri.***

Salam sehat,
Dr Handrawan Nadesul

Amygdala Hijack Pengendali Emosi Otak Kita