Privilese yang (Tak) Senantiasa Abadi

Privilese yang (Tak) Senantiasa Abadi

Secangkir kopi robusta Bali gula aren, di pinggir sawah saat hari menjelang hujan. Nikmat Semesta mana yang kau dustakan.( Foto: AI/ Bing, Seide)

Akhir pekan kemarin, saya punya privilese-meninggalkan keseharian sebagai ibu rumah tangga-ikutan melali ke desa. Sebuah program komunitas menelusuri desa-desa di Bali dengan berbagai ‘kekayaannya’.

Saya sebut privilese karena biayanya tidak ‘murah’ dalam nominal, ‘mahal’ menganugerahi pengalaman. Mulai dari ngobrol dan makan siang ala desa di dekat rumah singgah Women Crisis Centre, di tengah pesawahan pojok sebuah desa. Lalu berendam air panas di tempat warga lokal, yang murah dan tertata cukup baik.

Lalu, privilese saya beserta delapan peserta lain bertambah, ketika bisa melihat konservasi burung hantu (sebagai predator natural tikus sawah) di desa yang lain, plus mendapat banyak cerita pegiat ketahanan pangan dan pelestarian budaya, yang tak mungkin diperoleh hanya berbekal googling.

Baterai ponsel saya masih cukup banyak ketika hari makin malam. Bersyukur saya menjadi bagian dari pengalaman penuh makna itu, meresapinya melalui benak dan pori-pori sekujur tubuh, hingga tak terpikir menjadikannya konten-konten panjang.

Tak seperti apa yang saya lihat, ketika sudah selonjoran di rumah dan mengulir layar smartphone saya.

Hidup lagi capek – capeknya malah nemu beginian

Lalu, terputarlah video konten orang-orang yang sedang berjuang dalam hidup.

Responsnya,

Netizen umum,

“Sapa naruh bawang di sini?”

“Hidup sekejam itu, tapi adeknya tetap senyum. Sabar ya, dek;”

Sampai respons netizen yang ekstrem,

“Kakaknya bikin konten adik tersebut, udah ijin belum, udah ngelakuin apa belum? ‘Kan kakaknya dapat like banyak dari konten itu!”

Saya … yang sepanjang hari merasakan hal-hal bermakna, lalu hanya membaca komen-komen itu, spontan mau bilang, “Nah!”

Bukan … tak bermaksud hati merespons ternyata demikianlah perjuangan orang lain. Tak setuju juga konten yang seolah mengusung derita itu … malah dijadikan konten mendulang viral atau cuan oleh orang-orang yang lebih punya privilege. Atau di Bahasa Indonesia-kan menjadi privilese, memiliki arti hak istimewa.

Dalam kasus di atas, orang yang membuat konten jelas punya privilese, punya smartphone, punya kuota, punya akun media sosial, dan bisa meng-upload video dengan tema bersyukur itu menjadi kontennya.

Sebagai pemilik smartphone saja, si pembuat konten memiliki privelese masuk ke dalam prosentase  67,88% masyarakat Indonesia yang Memiliki Smartphone menurut riset Biro Pusat Statistik satu tahun lalu. Berati sekarang prosentase itu diasumsikan meningkat juga.

Meski tak berarti si pemilik smartphone adalah orang yang berpenghasilan besar, dia memiliki privilese mampu membeli baik secara tunai maupun cicilan, kepemilikan smartphone-nya.

Selanjutnya adalah aksebilitas internet. Dari laporan We Are Social pada laman GoodStat , si pembuat konten memiliki privilese menjadi bagian dari 204,7 pengguna internet di Indonesia pada awal tahun 2022.

Mengapa di sini saya paparkan angka-angka dan prosentase?

Privilese = Hak Istimewa, apakah dengan beruang banyak?

Menjawab pertanyaan pada judul, saya jelas menyepakatinya, apalagi terkait dengan konten tema bersyukur tadi. Namun, bila ditelisik lebih lanjut, tak hanya memiliki uang banyak yang memberi privilese. Seperti juga pengalaman priceless saya hari Sabtu kemarin.

Dari beberapa ulasan buku tentang privilese, kita berbicara tentang hak istimewa yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang, tidak dimiliki  pihak lainnya. Hak privilese muncul sebagai hasil stratifikasi sosial dengan adanya perbedaan akses untuk memperoleh barang dan mendapatkan layanan yang sama.

Privilese ini terkait langsung dengan tindakan diskriminatif serta muncul karena adanya kesenjangan ekonomi yang mempengaruhi kesenjangan sosial.

Privilese ini menjadi keuntungan bagi pihak mayoritas atau yang memiliki, meski mereka tak menyadarinya.

Contoh hal selain uang yang menjadi privilese.

• Jenis Kelamin dan Gender  

Sadarkah bahwa terlahir menjadi lelaki memberi privilese sendiri, di dunia yang masih dikungkung pemikiran bahwa perempuan adalah warganegara kelas dua. Bukankah para orang tua lebih percaya kepada anak laki-laki untuk bepergian, mulai dari bermain, bersepeda, dibanding anak perempuan?

Termasuk juga sampai seberapa tingkat pendidikan yang akan ditempuhnya. Lelaki ‘seolah’ lebih leluasa untuk terus melanjutkan pendidikan, dibanding perempuan yang dalam beberapa budaya dan masyarakat masih terkungkung pernyataan, “Buat apa sekolah tinggi-tinggi …?”

• Penampilan fisik

Tak bisa memungkiri beauty is privilege. Beberapa pekerjaan, banyak peluang menjadi lebih mudah, bila penampilan fisik lebih cantik atau tampan, lebih menarik, lebih tinggi, langsing, dan banyak hal standar menurut umum.

Beberapa pekerjaan frontliners dan customer service, maupun selebritis memang memerlukan penampilan dengan kriteria tertentu.

Namun, penampilan fisik bisa dibuat dan tidak kekal. Sudah banyak prosedur kedokteran yang mengklaim dan nyata membantu hal ini. Privilese itu bisa bertambah untuk orang yang lahir dengan fisik yang sangat baik, terlihat lebih muda dari usianya; karena gennya memang sudah demikian.

• Usia

Postingan Bunda Corla telah mengungkap bagaimana tenaga kerja di Jerman lebih punya peluang untuk berkarir dan tak terkendala umur, dibanding tenaga kerja Indonesia.

Lowongan kerja, kesempatan beasiswa seringkali berpatokan kepada umur dengan berbagai alasannya, dibandingkan memperhatikan pengalaman dan karya yang telah dimiliki.

Standar ganda privilese pun bisa terjadi ketika seorang perempuan telah berumur, tapi tampilan fisik masih cantik. Perlakuan yang berbeda mungkin saja terjadi, sekali ini bukan karena muda usia; melainkan awet muda.

• Ras atau Suku Bangsa

Di dunia Barat, memiliki kulit putih masih dianggap memiliki privilese  dibanding kulit berwarna. Terutama dalam hal pergaulan.

Seperti juga, karena ibukota Indonesia ada di Jakarta yang berarti di Pulau Jawa, bersuku Jawa punya privilese menikmati fasilitas pemerintah, dibanding penduduk yang tinggal di pelosok Timur Indonesia.

• Pendidikan

Walau pemerintah telah berupaya memeratakan kesempatan pendidikan, bisa menempuh pendidikan sampai di level tertentu masih menjadi privilese generasi muda di Indonesia. Saat ini telah banyak orang Indonesia yang menempuh S3, dibanding beberapa dekade lalu, di mana menjadi lulusan S1 saat itu masih cukup langka.

• Status ekonomi, sosial dan budaya

Seseorang yang datang dari keluarga yang berkecukupan, yang tak perlu berpikir besok apakah masih bisa makan, atau adakah rentenir menagih utang, atau apakah token listrik masih bertahan sampai dua hari lagi, atau harus menahan malu dengan pakaian itu-itu saja; tentu lebih punya keleluasaan untuk melakukan apa yang diinginkan.

Walau, ada pengecualian kondisi berkekurangan dan statusnya yang cukup rendah di masyarakat, malah mendorongnya bekerja dan berusaha lebih keras.

Bila kita telah memahami privilese yang dimiliki, selanjutnya kita perlu berjiwa besar dan usaha ekstra untuk melihat yang berseberangan. Dengan tujuan memiliki pengertian bahwa ada yang perlu kerja keras untuk menduduki ‘posisi’ yang kita tempati sekarang.

Privilese memang tak bisa seketika kita ‘lepas’. Akui saja bahwa diri kita lebih beruntung karena memilikinya. Dan, yang terpenting adalah tidak serta merta merendahkan yang tidak punya.

Bagi yang tidak beruntung untuk memiliki privilese juga, tak berarti dunia akan runtuh atau tak bermasa depan. Tidak baik juga malah menjadikan kondisi itu sebagai bahan ‘jualan kasihan’ agar orang simpati. Yang diperlukan bukan cuma dikasihani, tapi didorong untuk terus berdaya upaya. Tak perlu juga menargetkan diri wajib setara dengan yang telah memiliki privilese karena memang berbeda.

Yuk, sama-sama mengingat. Memiliki privilese memang menguntungkan. Mengandalkan privilese juga banyak memberi peluang. Namun, menggunakan hanya privilese sebagai ‘senjata’, tetapi tidak berusaha, suatu saat segala hal fana bisa berubah.

Karena hal yang pasti dalam hidup hanya satu. Mau memiliki privilese atau termasuk under privileged,  semua bisa saja kita raih, asal tidak pernah berhenti.

Budi Pekerti, Film tentang Viral, Moral, dan Siapa yang Disalahkan

Menjaga Dompet Kripto Agar Aman

Uang Kripto Penting Untuk Masa Kini dan Masa Depan

Avatar photo

About Ivy Sudjana

Blogger, Penulis, Pedagog, mantan Guru BK dan fasilitator Kesehatan dan Reproduksi, Lulusan IKIP Jakarta Program Bimbingan Konseling, Penerima Penghargaan acara Depdikbud Cerdas Berkarakter, tinggal di Yogyakarta