Waktu masih jadi reporter di majalah MODE, pernah dibuat survey kecil-keclian kepada 10 remaja perempuan. Pertanyaannya simpel, tapi menggiurkan. Apakah kamu tertarik jadi model?
Hasilnya, 9 dari 10 remaja perempuan ternyata bercita-cita jadi model. Bahkan bisa 10 dari 10 remaja. Maka gak heran setiap kali ada lomba Cover Girl, pesertanya pasti bejibun. Kalo sekarang yang berhijab berbondong-bondong ikut Hijab Hunt. Sama aja.
Ketika anak gadis saya lahir dan sering diajak ke sana kemari, eh tau-tau ada kesempatan yang nawarin jadi model. Tapi entah kenapa saya kok ya keberatan. Begitu dia tumbuh sebagai balita, oleh beberapa temen fotografer kembali ditawari jadi model baju anak-anak atau topi, misalnya. Awalnya saya nyaris tergoda, tapi dalam hitungan menit, kembali saya tolak. Saya gak mau kelak dituduh mengekploitasi anak.
Apa saya belagu menolak rejeki dan popularitas? Jujur enggak. Saya pernah konsultasi sama dosen saya yang pengamat sastra anak-saya 2 dan dunia anak-anak. Dia bilang, biarlah anak-anak tumbuh dan besar sebagaimana laiknya. Selama orang tua mampu membiayai pendidikan, teruslah sekolah. Jangan tergoda kayak kebanyakan orangtua yang malah jungkir balik ngotot banget biar anak-anak mereka bisa terkenal. Jadi, gak usahlah.
Dan saya sependapat. Saya kepingin anak saya tumbuh normal sebagai anak-anak pada umumnya. Biarkan dia kelak memilih sendiri apa yg jadi passionnya. Jangan karena mau orangtuanya. Makanya ketika abangnya memilih pingin jadi dokter dan dia jadi insinyur, itu murni pilihan sendiri. Dua pilihan yang di jaman gue sekolah dulu jadi impian hampir sebagian besar orang tua. Makanya saya dianggap aneh sama banyak orangtua ketika memilih masuk fakultas sastra. Mau jadi apaan luh.
Tapi gimana kalo dia sekarang tau-tau nyambi jadi model, misalnya. Ah, itu sih terserah dia. Saya lihat si tomboy yang mulai feminim ini kayaknya sih lebih tertarik aktif berorganisasi di kampus kayak bapaknya dulu. Kalo dia belakangan seneng tampil modis, itu cuma gaya-gayaan saja. Sekolah tetep nomor satulah. Gak masalah kalo pendidikan dia tarok di nomor 6, misalnya, asal yang satu sampe lima Pancasila.
Apa pun profesi anak kita, tetaplah tanamkan kebaikan dan kejujuran. Inilah dua poin yang makin hari menurut saya makin tergerus di negeri ini, yang anehnya, justru tergerus oleh mereka yang mengaku paling beragama. Agama absurd.
–ramadhan.syukur–