Seide. Id– Dulu, profesiku adalah ilustrator yang selalu membuat gambar berdasarkan naskah. Konsultasi psikologi, konsultasi keluarga, ekonomi, pendidikan, kadang kriminal dll. Gambar-gambar ilustrasi itu ‘tak cuma’ estetika, tapi (yqng lebih penting) adalah teknis dan informasi. Supaya pembaca menjadi lebih mudah menangkap dan menahami informasi yang ingin disampaikan. Nah barulah ketika menggambar untuk Cepen aku mengeksplorasi estetika. Tapi tetap tak melenceng dari jalan cerita, meski fiktif.
Sekarang, setelah pensiun dan mencoba melukis, aku sangat menikmati. Karena begitu mengasyikkan dan terus-menerus seperti menemui hal baru. Tapi,…yaa itulah,…aku jadi selalu ingin bercerita pada setiap lukisanku. Tak cukup hanya sekadar estetika. Tak cukup hanya sekadar memotret. Keinginan bercerita pada setiap lukisanku, mungkin karena lama bekerja sebagai ilustrator itu. Bukan karena sebuah ungkapan tajam dan kritis (meski aku setuju belaka kepada ungkapan itu):
“Pelukis, selayaknya bukan hanya ‘memindahkan’ keindahan. Bukan ‘hanya memotret keindahan yang dilihatnya ke-dalam bidang gambar, baik kertas, dinding papan kayar digital atau kanvas. Tanpa imajinasi, pelukis bukankah pelukis. Bahkan fotografer pun ‘dituntut’ untuk berimajinasi.”
Lukisanku ini, aku kerjakan sebelum pandemi Covid-19 menyerbu dunia. Potret sebuah keluarga sedang bersantai di ‘teras rumahnya’ di bentaran kali, di atas sebuah spring bed bekas, butut dan bau (tentu tak tercium) yang sudah kusam dan tentu saja pegas-nya sudah tak berfungsi. Dengan latar belakang tumpukan sampah. Sementara di latar belakang di kejauhan adalah tembok tiang-tiang beton fly-over jalan raya kota yang kokoh, dingin, bisu, dan perkasa.
Tapi itu semua ‘hanya potret’. Lukisan itu tergantung di dinding rumah. Tak ada yang mengoleksi. Lah, siapa yang mau mengoleksi jika tak dipublikasi.
Karena sering terlihat, dan terngiang-ngiang ungkapan tajam dan kritis bahwa “tanpa imajinasi, pelukis bukanlah pelukis”, lalu aku tengak-tenguk setiap memandang lukisan itu. Kadang meliarkan imajinasiku untuk menambahkan sesuatu kepada lukisan itu. Lalu begitu saja, seperti berkelebat burung-burung yang kemudian aku jadikan latar depan. Aah,…jadi nampak lain, dibandingkan ‘sekadar potret’ kemarin.
Selesai?,…belum.
Pandemi pergi. Tapi entahlah. Kita semua tak yakin apakah pandemi masih ada atau sudah benar-benar pergi. Kita semua sudah lelah dan pasrah. Lagipula life goes on. Hidup harus terus menggelinding, harus terus diupayakan. Siap atau tidak. Ada pandemi atau sudah pergi.
Kemudian orang-orang menganggap pandemi pergi. Atau paling tidak, orang-orang sudah berani berinteraksi dengan sesama. Atau orang-orang menganggap ‘killing puch'(?) sang virus sudah tak seganas ketika awal-awal ‘kunjungannya’. Atau kalau pun killing punch-nya masih ada, tapi sudah semakin melemah.
Orang-orang dari kalangan medis mengistilahkan: bermutasi. Konon, virus itu bermutasi menjadi beberapa varian dan semakin melemah, menjadi seperti flu biasa. Aku kira, mutasi itu pekerja dari satu bagian dipindahkan (turun atau naik) ke bagian lain. Atau mutasi itu…nama seorang Samurai pengelana karangan Eiji Yoshikawa.
Lalu datanglah musim penghujan. Setiap melihat lukisan itu, aku tak tega melihat keluarga itu bersantai di dekat tumpukan sampah. Aku membayangkan, seandainya hujan turun terus-menerus, karena ‘rumah’ keluarga itu di bentaran kali, maka air pasti akan meluap mengaliri ‘halaman rumah’ mereka. Maka, aku ubahlah tumpukan sampah itu menjadi air,…lengkap dengan perahu-perahu kertas yang sedang ‘berlayar’.
Lalu,…aku melihat,…dalam keadaan apa pun, kita, semua orang, tetap selalu ingin menunjukkan eksistensi. Selalu ingin selfie. Nampaknya si selfer (orang yg selfie?) tak hirau benar, apakah latar belakang tempat dia selfie itu sedang gembira atau berduka. Yang penting dia hadir di sana, dia pernah berada di sana. Eksis kata anak milenial.
Aku jadi teringat orang-orang yang selfie dengan latar belakang sebuah desa yang tenggelam karena lumpur. Dan seorang artis yang selfie dengan latar belakang monumen getir tentang pembantaian manusia, yang dikomentari: “Bagus, ya” oleh sang artis.
Dan bertepatan dengan film menarik “Joker” yang berminggu-minggu jadi bahan pembicaraan, maka aku tambahi latar depan lukisanku dengan Joker, eh wajahku sendiri, eh… Maksudku begini: latar depan di lukisanku itu, sebetulnya mewakili kita semua sebagai orang yang selalu ingin selfie di mana saja. Akan halnya sosok yg aku lukis itu wajahku sendiri, …yaa karena wajah itu selalu tersedia kapan dan di mana saja sebagai model, ..dan gratis.
Selesai?,…belum.
Spring bed tampat keluarga itu bersantai, maski sudah kusam, tapi rasanya masih terlihat,…wah ‘gimana ya,… masih kurang dramatis. Maka,…spring bed itu ‘aku koyak’ di sana-sini.
Selesai?,…belum.
Rasanya,…besi dan kawat-kawat pegasnya itu masih terkesan kurang mecothot dan berkarat. Mungkin nanti aku teruskan.
Lukisan ini memang sementara aku beri judul: “Tiada hari tanpa selfie”. Tapi,…siapa tahu sejalan dengan peristiwa yang terjadi di sekitar ditambah dengan imajinasi, lukisanku berubah lagi. Bahasa ndeso-nya: berprogres.
(Aries Tanjung)