Kulihat wajahku di depan cermin. Inikah wajah seorang provokator?
Wajah lelaki baya yang bersahaja. Hidung mancung. Sorot mata tajam, tapi meneduhkan jiwa. Rambutnya putih keperakan. Begitu pula dengan kumis dan janggutnya yang juga memutih.
“Benarkah aku ini provokator?” gumamku sekali lagi pada diri sendiri.
Aku makin penasaran. Padahal aku bukan Anu yang mengunggah stupa candi yang diubah wajah orang. Aku bukan orangtua yang meracuni jiwa anak-anak dengan ajaran kebencian. Aku, aku, bahkan aku tidak pernah memaksa orang untuk berpakaian begini dan begitu dengan mengubah peraturan atau yang melanggar norma kepatutan.
Anehnya, ya, anehnya aku dituduh sebagai seorang provokator. Tuduhan yang tidak mendasar dan tidak terbukti, bahwa aku senang menghasut dan mengadu domba sesama anak bangsa demi mencari keuntungan semata.
Coba lihat dan amati dengan seksama. Aku tidak berafiliasi dengan suatu partai politik, aktivis, atau kaum intoleran. Aku juga anti nyinyir dan anti menghujat orang lain.
Sekalipun orang lain menghina, menjelekkan, menghujat, bahkan memfitnah aku, tidak kupedulikan, respon, dan tidak kutanggapi. Karena, hal itu hanya membuang waktu, tidak ada gunanya, dan kontra produktif.
Sama halnya, ketika keimananku dilecehkan dan dijelek-jelekkan orang lain, aku tidak menanggapi atau membalas bantahan di medsos. Karena keimanan itu hubungan personal, dan pribadi dengan Ilahi.
Sekiranya aku hobi menulis di medsos itu tidak ada niat untuk menilai dan menghakimi orang lain. Aku bukan seorang ahli atau kritikus, melainkan orangtua yang kurang pengalaman. Sehingga aku harus banyak belajar dan mohon dibimbing oleh mereka yang mumpuni di bidangnya, hebat, dan terkenal.
Jadi, apapun isi postingan di medsos, aku tak mau komentar, menanggapi, dan menyerang balik si pengunggah. Karena aku sadar sesadarnya, aku tidak mau terkontaminasi atau berpolemik. Karena aku bukan seorang provokator!
Aku, kau, dan kita semua yang cinta NKRI adalah burung elang. Sedang mereka yang senang menghasut dan memprovokasi orang lain adalah burung gagak.
Kita tidak perlu menanggapi nyinyiran jahat burung gagak itu. Tapi kita harus tetap fokus pada tujuan bersama untuk terbang tinggi mengangkasa, membangun Indonesia Jaya.
Sejatinya, apapun polemik yang muncul medsos dan pergaulan itu berasal dari pikiran kita sendiri. Kita harus berani menanggalkan ego sendiri untuk berpikir jernih dan bijaksana.
Saatnya aku, kau, dan kita semua jadi pribadi yang berkualitas. Kita bukan burung gagak, melainkan burung elang yang membawa nama harum Indonesia ke kancah dunia.
Foto : Cristofer Maximilian/Unsplash
Dinilai Tabrak Peraturan, Penamaan JIS Menggunakan Bahasa Asing Jadi Polemik