Mengawali bulan ini sahabat saya Adriono Ono salah satu penulis andal yang tinggal di
Jawa Timur, menulis postingan di fesbuk tentang ‘pemadaman handphone’ yang katanya terinspirasi pemadaman listrik PLN.
Kenapa mantan wartawan Surabaya Post ini menulis itu — sehubungan dengan job menulis buku yang diterimanya yang sifatnya dikejar ‘dead line’.
Kalau dia tidak mendisiplinkan diri dengan melakukan ‘pemadaman handphone’-nya, kuatir job yang sedang dikerjakannya bisa melewati tenggat waktu. Karena terus terang, katanya, handphone itu “penggoda” paling wahid. Yang lantas saya persepsikan, yang rugi tentu pihak pemberi job, dan dia juga karena akan kehilangan respek yang akhirnya bisa mengurangi datangnya job.
Yang menarik adalah pernyataannya bahwa tugas penulisan yang diterimanya seringkali kalau tidak ‘mendadak’ ya ‘mendadak sekali’.
Dua hal ini pernah saya alami, boleh jadi juga teman-teman pelaku literasi lainnya seperti Henri Nurcahyo, Djoko Pitono Hadiputro, atau Fanny Jonathans, atau yang lainnya lagi.
Saya kira masing-masing penulis punya istilah manakala dikaitkan dengan kalau tidak ‘mendadak’ ya ‘mendadak sekali’ tersebut.
Beberapa kali saya menerima tugas yang berhubungan dengan ‘ghost writter’ yang sifat waktunya mirip yang dialami rekan Adriono itu, kalau tidak ‘mendadak’ ya ‘mendadak sekali’.
Dalam konteks per-‘ghost writter’-an saya, sebetulnya sih tidak benar-benar sebagai ‘penulis siluman’, karena pemberi tugas selain menyerahkan materi buku berbentuk audio (rekaman suaranya mirip penyampaian materi pada seminar) yang selanjutnya saya transkrip, juga menyertakan beberapa tulisan dengan penekanan pada poin-poin tertentu. Yang saya kerjakan (dibantu seorang asisten) lebih cenderung ke penyuntingan ditambah dengan mencari data perpustakaan.
Suatu hari saat menuju pulang ‘handphone’ saya berdering. Setelah dialog pembuka, maka terdengar inti persoalan: “Pak Amang, nanti sore pukul 4 saya tunggu di kantor ya. Biasa … Roro Jonggrang…”.
Karena waktu itu sudah sekitar pukul 3 sore, saya pun berhitung bahwa kalau saya “Turn U’, bisa saja sih nyampe di kantornya pas waktu, dengan catatan lalu-lintas tidak macet. Namun, capeknya itu wow… bisa-bisa akan mengganggu konsentrasi pembicaraan soal tugas tersebut.
Maka saya putuskan mending terus ‘go home’ yang jaraknya tinggal sekitar 5 kilometer, yang akhirnya kendaraan saya masukkan ke rumah, selanjutnya saya pesan ‘go car’. Dengan demikian rilekslah saya. Setelah sampai di kantornya, dilanjut sekitar setengah jam pembicaraan : deal !
Sebagaimana teman-teman tahu, kisah legenda Roro Jonggrang putri Raja Baka dari Kerajaan Prambanan ini, maunya diperistri ksatria Bandung Bondowoso dari kerajaan Pengging. Intinya Roro Jonggrang menolak. Bagaimana mau menerima, lha wong ayahnya saja dibunuh, kerajaan Prambanan pun ditaklukkan. Maka ia ajukan syarat yang tidak masuk akal. Ia mau diperistri kalau dibuatkan 1000 candi yang selesai sebelum ayam jago berkokok.
Dengan segala kesaktiannya Bandung berusaha membangun 1000 candi itu dalam waktu semalam dibantu banyak bala siluman.
Kuatir Bandung bisa menyelesaikan pekerjaan itu, Roro Jonggrang mengerahkan abdi dalem dan warga kerajaan untuk memukuli lesung agar ayam-ayam jago berkokok tanda pagi tiba alias ‘dead line’.
Pada candi ke-999 ayam-ayam jago pun mulai berkokok maka Bandung marah dan mengutuk Roro Jonggrang menjadi candi ke-1000 yang bentuknya bukan candi tetapi berupa patung dirinya.
Tentu proyek penulisan “Roro Jonggrang” yang “terkonversi” buku ini bukan lantas semalam jadi, sekadar kiasan. Melainkan bisa 2 minggu, atau paling lama sebulan.
Dari sekian tugas penulisan itu, kira-kira yang “Roro Jonggrang” dengan yang “biasa” kalau diperbandingkan 3 : 10. Yang “Roro Jonggrang” setahu saya selalu tepat waktu, malah yang ‘biasa’ beberapa kali molor.