Dirimu ibarat pualam, putih bersih, bersinar dan tak bernoda. Jika pualam itu cacat lalu retak, maka nilainya berkurang, kau akan memperoleh ‘cap’ yang terus terekam dalam rentang waktu tak terbatas, kau akan mengalami berbagai cercaan dari segala penjuru. Cibiran akan ditujukan kepadamu, lalu mereka akan menganggapmu ‘murah’ tak bernilai lagi. Kegelapan akan menyelimuti masa depanmu, semua yang salah akan ditimpakan kepadamu. Kau akan dianggap pembawa sial sehingga di dalam keputusasaan, kau berjalan sendiri, berjalan di lorong hitam tanpa batas.
Itu kalimat-kalimat yang diucapkan ayahnya, setiap saat dan setiap waktu. Erika merenunginya dalam-alam. Rangkaian kalimat di atas terasa bagai sembilu yang menusuk dadanya. Ia ingin berteriak, meminta tolong pada siapa saja, tapi mana mungkin? Semua yang hitam tak akan bisa menjadi putih, dia hanya bisa ditutup rapat-rapat, didiamkan tanpa seorang pun boleh tahu. Dan Erika melakukan itu. Biarlah semuanya memandang dan menilai dia seperti Erika yang dulu, Erika yang innocent, biarlah…
Erika berdiri di depan kaca, ia membuka seluruh pakaiannya, dalam keadaan telanjang ia memerhatikan bentuk tubuh yang terpampang di depan kaca. Mulai dari payudara, lekuk pinggang hingga ke organ genital yang paling sensitif, semua masih sama. Tak ada yang salah dengan tubuhku. Lalu, di manakah letak pualam itu? adakah yang cacat dari tubuhku? Ah, ingatan Erika mulai terkuak, bayang memuakkan seseorang yang paling dibencinya muncul bagai siluet tipis. Ia menggelengkan kepalanya, segera menghapus bayang-bayang itu, lalu meneliti kembali tubuhnya. Di sana ia menangisi keberadaannya. Betapa tak berdayanya aku sebagai perempuan, keluhnya penuh rasa sesal dan sakit hati.
“Ingat, satu hal yang mesti kau jaga adalah payudara dan vaginamu, jangan sekali-sekali lelaki yang kau kenal atau siapa pun yang mendekatimu menyentuh ke duanya. Payudara adalah hal awal yang sensitif dalam tubuhmu. Jika itu tersentuh, libidomu akan muncul, dia lalu menjalar seperti setrum yang membangkitkan sensasi liar ke dirimu. Dan satu hal lagi yang harus kau hindari adalah ciuman, melalui ciuman, akal sehatmu akan tertutup oleh ribuan naluri yang mematikan semua rasio. Kau akan terkapar dan pada akhirnya menyerahkan satu-satunya organ di tubuhmu yang merupakan kebangaan semua perempuan. Vaginamu, ya vaginamu, jaga itu baik-baik!” sang Ibu menunjuk ke bagian tubuhnya yang paling sensitif saat memandikannya dulu, ketika ia masih duduk di Sekolah Dasar.
“Jika kau tak bisa menjaganya, maka bencanalah yang menimpamu!” tegas suara ibunya kembali terdengar.
Erika tetap berdiri di depan kaca. Usianya kini tujuh belas tahun. Ia mulai mengerti, dari wajah dan bentuk tubuh, semuanya proporsional. Ia sadar, meski wajahnya tidak secantik bintang sinetron blasteran, ia memiliki daya pikat yang kuat, terutama matanya. Selebihnya, lelaki yang melihatnya pasti akan tersaruk-saruk bila memerhatikan bentuk tubuhnya, sebab di samping proporsional, payudaranya ya payudaranya berkembang cepat berpacu dengan usianya. Dia menyembul ranum di tengah dadanya yang tipis. Bentuknya indah dan segar. Harusnya ia bangga dengan semua yang ada di tubuhnya itu. Tapi kali ini tidak. Erika memandangnya dengan jijik. “Tak ada yang bisa kubanggakan dengan tubuh ini. Semuanya sampah, ya sampah!” desisnya kesal. Dan ucapan Ayahnya yang terus mengorek-ngorek gendang telinganya membuat ia kian terpendam dalam rasa sesal yang berkepanjangan.
“Camkan, hanya kau yang dapat menghargai dirimu. Sekali kau lengah, maka kau akan menjadi komoditi seks, kau akan seperti piala bergilir, yang digilir dari satu lelaki ke lelaki lain. Ingat itu!” kata Ayahnya.
Erika gundah, ia kembali memandang tubuhnya di depan cermin. Inikah raga yang mengkhawatirkan itu? Raga yang sewaktu-waktu bisa menghancurkan masa depanku? Gadis manis ini kembali mengusap air matanya. Nuansa pekat kembali memenuhi seluruh benaknya. Lagi-lagi ucapan Ibunya mencecar dan membuat degup jantungnya berpacu cepat.
“Ya, perempuanlah yang akan menderita jika dia tidak menjaga dirinya dengan baik. Dulu ketika kau masih kecil, Ibu tidak serepot sekarang. Tapi setelah kau menginjak remaja, hidup Ibu mulai dipenuhi rasa takut, Ibu takut kau hamil tanpa suami, Ibu takut kau tidak dihargai mahluk yang namanya laki-laki, Ibu takut keperawananmu dirusak orang…”
“Mengapa Ibu yang takut?” Tanya Erika, “Ini tubuh saya, sayalah berhak atasnya.”
“Itu pendapatmu, tapi di kehidupan nyata berbeda. Laki-laki tetap saja sama, dia ingin yang utuh sementara dirinya sendiri tidak. Kau adalah pualam Erika. Jika pualam itu retak, maka tak ada lagi yang mau memakainya. Direkatkan pun pualam itu tetap saja tak berguna, karena keindahan yang tercipta telah rusak oleh noda, noda yang ditorehkan lelaki pada tubuhmu.”
Erika gemetar. Inikah takdirku sebagai perempuan? Menjaga pualan itu jangan retak, menjaga diriku dengan baik sampai ada seorang lelaki datang meminangku? Haruskah kuserahkan pualam itu sebagai hadiah karena lelaki itu telah mau memperisteriku? Haruskah aku mengikuti aturan keluarga, terikat dengan laki-laki yang kelak meminangku, atau haruskah aku terbiasa melihat laki-laki sebagai sosok teladan yang lebih tinggi derajatnya dariku, melihatnya datang seperti pahlawan, dan aku dikondisikan untuk selalu bermimpi lalu berharap laki-laki itu akan memeluk dan melindungiku? Betapa aturan yang harus kupatuhi sama sekali tidak memberi ruang untukku, untuk eksistensiku sebagai perempuan. Padahal sesungguhnya yang kuinginkan adalah keseimbangan antara cinta eros dan agape.
“Ingat, meski jaman telah berubah, kau tetap perempuan timur, perempuan yang tahu menjaga keperempuananmu!” ujar Ibunya lagi.
Sejatinya Erika menginginkan keseimbangan cinta. Tapi semua terhenti pada rasa cemas yang tak bisa ia hindari, torehan pahit itu tak bisa lepas dari dirinya. Ia berusaha menyamarkan semua itu, namun tidak bisa. Setiap bayang lelaki itu muncul dalam benaknya, ia bagai diingatkan kembali akan masa yang paling perih dari kehidupannya. Masa di saat ia masih bocah kecil berusia sebelas tahun yang tak pernah mengerti arti dari naluri sex brutal sang paman, adik Ibunya. Sang paman merampas semua yang dibanggakan orangtuanya, paman yang bejat itu memorakporandakan jiwanya, Erika memendam perih itu dikegelapan yang teramat pekat. Ya, teramat pekat.
Apakah Erika salah bila rasa takut itu terus menghantui hidupnya? Andai ia berani membongkar semua yang telah terjadi, apakah kedua orangtuanya dapat menerima semua itu dengan hati lapang? Apakah ia berdosa bila mengatakan seks muncul sebagai fenomena alam yang umumnya terjadi pada manusia dan hewan? Dan hasrat seks menjadi hal yang alami pada semua manusia? Tidak adakah keadilan gender yang bisa ia dapatkan? Haruskah fundamentalis baik dalam hal agama dan norma-norma pergaulan menyudutkan posisinya sebagai perempuan? Apakah budaya global yang mengepung keberadaannya sebagai perempuan kian membuatnya sulit untuk mengembangkan diri? Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Erika kian cemas. Ia merasa ketidakadilan tampak dalam segala lini, mulai dari pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, aturan ketat dalam keagamaan, dan cinta.
Erika kembali memandang tubuhnya di depan cermin. Ia takut kelak cinta yang ia serahkan pada seorang laki-laki akan berubah menjadi bumerang yang menghancurkan dirinya sendiri, bumerang yang dilengkapi dengan berbagai ikatan norma-norma yang harus ia patuhi tanpa terkecuali. Ia tak kuasa menjelaskannya. Erika gundah, ia kembali berdiri di depan cermin. Ia memerhatikan semua yang melekat di tubuhnya. Semua masih tetap sama, dadanya tetap ranum, bentuk tubuhnya proporsional. Semuanya memberikan sensasi indah bagi para lelaki. Dan ketakutan itu kian menyeruak tatkala Ibunya kembali bertutur, “Jaman Ibu dulu, jika seorang gadis akan menikah, di tempat tidurnya, di atas sprei diberi lapisan kain berwarna putih. Jika mereka melakukan hubungan suami isteri di malam pertama, kain itu harus ada bercak darah. Bercak darah itu akan dilaporkan ke keluarga pihak laki-laki. Dengan begitu, semua terbayar sudah. Mas kawin yang diberikan dibalas dengan darah perawan yang ada di kain putih itu. Keluarga perempuan terangkat martabatnya, mereka memberikan puteri kesayangan yang masih gadis, masih perawan. Kau camkan itu, kelak jika kau menikah, kau pun harus begitu agar keluarga kita tidak malu!” Erika menyimpan ucapan itu. Perempuan telah menjadi sasaran fundamentalisme adat istiadat yang tak lekang oleh waktu. Adat istiadat yang tak akan tergerus oleh jaman. Tanpa disadari, era globalisasi pun tetap mempertahankan itu.
Dan Erika merenungkannya dalam-dalam ucapan Ibunya. Ketika ia kembali berkaca memerhatikan seluruh tubuhnya di depan cermin, ia mengambil keputusan bulat yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Sebuah pengakuan yang membuatnya tak lagi memerlukan pengukuhan bahwa ia harus dihormati atau dimuliakan. Ia ingin pengukuhan yang murni tentang eksistensinya sebagai perempuan, ia ingin merdeka sebagai dirinya, merdeka dalam balutan tubuh yang dipenuhi alam demokrasi, alam di mana dirinya terlepas dari semua ikatan. Ia ingin lepas dari rasa takut masa silam yang kelam itu.
Maka dengan keberanian yang telah memuncak, ia mengakatakan semua yang menyiksa hidupnya, “Ibu, Paman telah mengoyaknya di hari yang sepi tatkala Ibu dan Ayah tak ada di rumah. Ia memerkosaku saat usiaku baru sebelas tahun. Maafkan aku Ibu, aku tak bisa memberikan tanda merah di selembar kain putih di hari pernikahanku. Aku tak bisa. Pualam itu telah retak.” Erika berkata, rasanya lega. Ia tersenyum puas dan ia telah memiliki dirinya sendiri. ***
Oleh : Fanny Jonathans Poyk