Putih

Seide.id – Kami kalau ketemuan berjanji tidak boleh ngomongin politik atau agama. Itu dua hal rawan jelang pilpres yang bikin pertemanan jadi berantakan. Lebih baik ngobrolin keluarga saja, rencana ketemuan di mana lagi, atau enaknya jalan-jalan ke mana.

Tapi ada saja yang tidak tahan buat nyerempet-nyerempet lewat penampilan saya yang sudah berbeda dari biasa.

“Akhirnya Ganjar juga!” Pancing seorang teman perempuan sambil senyam senyum megang kepalanya. Maksudnya rambut saya.

Saya juga ikut senyum. Lalu saya jelaskan bahwa sekarang saya harus bisa berdamai dengan kenyataan untuk tidak mau mengecat rambut lagi. Toku telah tiba. Diterima saja.

Dulu ketika rambut saya masih kayak kena serabut kembang jambu yang rontok, saya merasa terganggu saja karena tidak beraturan. Jelek. Nah bagian yang memutih saya semir dark brown biar tetap senada sama teman-teman di sebelah.

Padahal kata seorang teman suatu hari, rambut hitam yang dihiasi putih-putih semburat kayak rambut Pierce Brosnan atau Gading Martin, sangat menarik lho. Ada kesan bukan cuma anggun berwibawa, tapi penuh gairah dan pesona. Katanya.

Saya cuma ketawa, lebay. Ngebandingin kok sama Brosnan atau Gading. Ya gak salak to salak, tapi aple to salak. Kagak nyambung blas. Jomplang.

Dan teman baik saya ini juga tidak bermaksud menyindir saya pendukung berat Ganjar kayak waktu sebagai pendukung bebas Jokowi. Dia mengoreksi dengan ungkapan “akhirnya Ganjar juga” jadi “rambut lo mulai mengganjar”.

Nah itu lebih pas. Artinya sudah mulai memutih semua. Tepatnya sih masih abu-abu. Saya pernah dengar ungkapan pas orang Jawa sebagai padanan “ngembang jambu” atau rambut putih yang kerontokan putik kembang jambu.

Sebetulnya ide untuk membiarkan rambut apa adanya saya sadari saat mengamat amati pengunjung semi atau full lansia di mall. Ketika melihat orang-orang yang tak sempat menyemir rambutnya sehingga menyembul warna putih, kok di mata saya menyebabkan seseorang kelihatan jadi tambah tua dan jelek.

Sebaliknya mereka yang membiarkan rambutnya putih atau abu-abu lalu dipangkas dengan pantas, malah terlihat keren. Baik yang wajahnya setara Gading Martin atau yang melenceng jauh kayak saya.

Dan ternyata ada hikmaknya juga nih. Dengan tampilan berani malu saat ini. Dengan rambut dicukur rapi dan diberi polesan pomad classic kalau mau pergi, belakangan kok orang-orang yang tidak saya kenal malah jauh lebih menghargai dan menghormati. Suwer.

Saya malah jadi jarang dipanggil “Pak”. Kalau yang seumuran manggil “Mas”, yang di bawah gue rata-rata manggil “Om”. Tapi panggilan asyik tentu saja di laman FB yang bikin terasa masih muda, yaitu “Uda”, walau di antaranya ada juga si teteh yang manggil “Abah”.

Jadi clear deh. Saya keliru. Temen tidak bermaksud ngomongin politik saya sebagai pendukung Ganjar. Nyerempet sih iya. Tapi maksudnya itu cuma slank rambut saya yang “mengganjar” pengganti “memutih”.

Tapi endingnya, tahu-tahu di ruang cafe Warung SACO Betawi Peranakan, tempat kami ngumpul, ada lukisan besar pasangan suami istri yang dikenali oleh teman saya, “Perasaan kenal wajah nih orang. Siapa ya!” katanya mengamati amati, “Ya ampun. Ini kan Desmon.” Katanya senang.

Saya tanyalah sama pelayan di sana, dan betul itu resto milik Desmon Junaedi Mahesa yang beristrikan orang Betawi. Makanya jual soto. Asli kami tidak tahu. Asal milih saja, karena katanya soto Betawinya enak. Peduli amat sama pemiliknya.

Dari Desmon, topik loncat sekelebatan ke kasus penculikan, tragedi reformasi, korban penculikan gabung ke Gerindra, dan sebelum sampai ngebahas Prabowo, save by the bell ketika yang nraktir bilang, “Udahan yuk. Sekarang kita foto-foto.”

Maka acara bebas pemersatu bangsa itu pun lebih diminati ketimbang ngebahas politik dan agama, apalagi ngebahas rambut saya yang jelas sudah tidak asyik apalagi menarik.

Ramadhan Syukur

The Last Bookstore: Gunung Agung

Avatar photo

About Ramadhan Syukur

Mantan Pemimpin Redaksi Majalah HotGame, dan K-Pop Tac, Penulis Skenario, Pelukis dan menekuni tanaman