Racun Sarin di Kue Nastar Bu Norma

Penulis: Fanny J. Poyk

Tiba-tiba saja tetangga sebelah saya, istrinya yang pebisnis kue-kue kering itu, ditangkap polisi. Kehebohan terjadi. Para tetangga lainnya langsung bergerombol di halaman rumahnya. Bisik-bisik dan gosip pun berkembang biak. Namun, yang paling menyengat telinga saya adalah ucapan Bu Ngadiman. “Dia ditangkap karena mengirim pesanan kue nastar bercampur racun. Si pembeli yang memakan kue itu langsung mati di tempat. Racunnya bener-bener mantap!” ujarnya sambil mengedikkan bahunya, ia memaparkan kisah itu dengan serius.

“Wah, kok berani sekali ya, apa nama racunnya?” tanya saya.

Bu Ngadiman diam sejenak. “Katanya sih racun sarpin, Bu Dona.”

“Sarpin? Sarin kali Bu Ngadiman,” ralat saya.

“Iya itu. Sarimin eh sarin,” ujarnya dengan suara hampir berbisik, sebab ia melihat suami tetangga sebelah saya, yang istrinya akrab disapa Bu Norma, berdiri tegak dengan dahi berkerut. Lelaki bertubuh tinggi dengan wajah tampan agak flamboyan dan berpostur proporsional itu, sesekali memegang keningnya seolah tak percaya sang istri ditangkap polisi dengan tuduhan meracuni pembeli kue nastarnya dengan zat berbahaya sarin yaitu racun saraf yang memiliki kandungan senyawa organo phosphorus yang sangat mematikan; bila seseorang menghirup atau menelan racun itu, maka dia dapat mati lemas karena mengalami kelumpuhan otot paru-paru. Dan waktu yang dibutuhkan untuk menghilangkan nyawa seseorang yang terkena racun tersebut, cukup satu hingga sepuluh menit saja. Habis itu game over alias tewas.

Saya kemudian mulai menganalisis melalui pemikiran subyektif yang akurasi faktanya masih lemah alias tidak kuat. Jika memang benar demikian, tentunya ada hal-hal yang maha dahsyat telah dialami oleh Bu Norma sehingga ia memusnahkan pembeli kue nastarnya dengan memasukkan racun mematikan itu. Bisa jadi Bu Norma sudah berada di titik tertinggi derita kehidupan yang dirasakannya.

Kemudian gosip tentang suaminya yang tampan dan suka melihat perempuan cantik dan bahenol itu, mulai memberikan jawaban sedikit dari analisis saya. Tentu saja analisis ini tidak ilmiah karena tanpa catatan kaki. Yang saya tahu, jika benar si pembeli kue nastar Bu Norma tewas karena racun sarin, betapa canggihnya tetangga saya ini. Dan, betapa tanpa perhitungannya ia melakukan hal tersebut. Sebagai pengusaha kue-kue kering, ia telah memasuki puncak karir menjadi pebisnis kue yang mumpuni. Jualannya pun laris-manis di mana setahu saya tak ada campur tangan babi ngepet, leu-leu atau penglaris sebagai atribut agar bisnisnya laku. Ia orang yang jujur, polos dan baik hati.

Buat orang sepolos seperti Bu Norma, meracik racun sarin bukan hal mudah, ia harus paham rumus-rumus kimia yang rumit untuk membuatnya di sebuah laboratorium dengan peralatan canggih. Atau, Bu Norma membelinya di pasar gelap melalui jaringan mafia penjualan racun yang bergerak secara rahasia?

Pertanyaan saya berkecamuk terus di benak. Saya seperti sosok di kisah detektif Conan yang penasaran mencari tahu apa motif sesungguhnya dari pemberian racun sarin di kue nastar itu, apakah seperti kisah klasik yang tetap kokoh bertahan dari masa purba hi¹ngga era medsos seperti sekarang, yaitu perselingkuhan yang bertubi-tubi dilakukan sang suami nan genit dan àmerasa sok tampan itu?


Agaknya analisis saya mulai terpolusi oleh campur tangan orang terdekat saya, yaitu suami dan putra sulung saya.

“Sudah, jangan pusingin urusan Bu Norma. Kamu seperti orang yang kurang kerjaan saja!” Kata suami saya.

“Iya nih Mama. Mau jadi pengacara Tante Norma? Nanti Mama ngetop dan viral deh di medsos dan YouTube. Sekalian aja jadi Youtuber…” goda si sulung saya.

Saya bergeming.

Harus ada kejelasan kasus, dan saya akan menyelidikinya hingga tuntas, apakah benar tetangga saya Bu Norma yang memasukkan racun sarin ke kue nastarnya sehingga si pembeli keluar dari Bumi.

Kecurigaan yang maksimal kemudian mencapai puncaknya. Analisis pertama tertuju pada suaminya. Sang lelaki flamboyan yang selalu steady dengan tampilan kekinian itu tampaknya memang patut dicurigai. Seperti yang saya dengar dari bibir sang istri, lelaki itu pernah menjalin hubungan dengan lebih dari seratus perempuan sebelum dan sesudah masa pernikahan mereka. Tak hanya “doyan” main perempuan, ia juga ringan tangan, pemarah, dan pemalas.

“Anak-anak menjadi saksi tiap kali ia memukuli saya, terutama saat saya tidak memberinya uang untuk berkencan dengan perempuan selingkuhannya,” tutur Bu Norma suatu hari.

Saya terkesima.

Perempuan kurus berwajah cantik itu terlihat sangat letih kala menceritakan perihal suaminya.

“Mengapa Ibu tidak melawan?” Tanya saya.

Bu Norma tertawa getir. “Pekerjaan tak tetapnya sebagai debt colector membuat saya ngeri, Bu. Dia punya geng di Tenabang, temen-temen-nya mengerikan. Ada yang punya link ke kelompok mafia Jepang dan Italia,” jawabnya dengan suara lemah.

Saya langsung bergidik ngeri. Bila itu benar, artinya suami Bu Norma kenal juga dengan para tokoh mafia Yakuza Jepang dan kelompok Mafioso Italy. Duh, tiba-tiba nyali saya hendak membela dan memberi dorongan padanya jadi ciut, jangankan dengan kartel kelompok itu, mendengar kata kelompok Tenabang saja dengkul saya mulai gemetar. Timbul tanya di hati saya, mengapa gegara kue nastar urusannya menjadi ruwet dan melebar ke mana-mana. Saya menjadi pusing tujuh keliling.

Maka sejak itu saya mengikuti saran suami, menarik diri dari segala urusan kue nastar ber-sarin Bu Norma. Tapi sungguh, hati saya sangat sedih melihat ia menjadi tahanan polisi.


Kehidupan yang erat dengan tekanan dan penderitaan itu akhirnya bermuara pada satu konspirasi yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, saya pun tidak percaya akan hal ini.

“Jangan ceritakan pada siapa pun Bu Dona, saya hanya percaya pada Ibu saja. Sesungguhnya yang membuat racun sarin dan memasukkannya ke dalam kue kering nastar saya adalah putra saya Ahmad. Dia jurusan IPA dan paham dengan ilmu kimia, terutama yang berkaitan dengan racun. Saya sudah melarangnya untuk tidak melakukan hal itu. Namun ia tetap dengan pendiriannya. Katanya, perempuan yang menjadi selingkuhan ayahnya harus dimusnahkan. Dia telah menjadi benalu sang ayah dan ayahnya menggerogoti saya dengan meminta uang untuk perempuan itu setiap saat. Dan…,” Bu Norma menarik napas dalam-dalam. Saya yang menjenguknya di tahanan mulai emerasakan ada air hangat mengambang di mata.

“Jangan menangis Bu Dona. Saya aman di sini. Saya terbebas dari pukulan dan deraan derita yang ia berikan selama hidup saya. Biar saya yang tanggung kesalahan putra saya. Dia masih muda, masa depannya masih panjang. Dia cerdas, saya yakin kelak dia bisa kuliah dengan beasiswa. Dia anak yang baik. Saya akan tetap mengaku salah. Berapa puluh tahun pun saya di sini tak apa. Bu Dona tolong lihat-lihat anak-anak saya, ya.”

Air mata saya terus mengalir. Rahasia kedatangan saya ke sel tahanan Bu Norma dan kisahnya tentang Ahmad sang putra pembuat racun sarin di dalam kue kering nastar itu, tetap saya simpan rapat-rapat. Hidup memang seharusnya demikian, tak baik menguak kepercayaan yang telah diamanatkan dengan sepenuh jiwa.

Tamat

Avatar photo

About Fanny J. Poyk

Nama Lengkap Fanny Jonathan Poyk. Lahir di Bima, lulusan IISP Jakarta jurusan Jurnalis, Jurnalis di Fanasi, Penulis cerita anak-anak, remaja dan dewasa sejak 1977. Cerpennya dimuat di berbagai media massa di ASEAN serta memberi pelatihan menulis