Seni Regol, tari ritual membawa pada pada ritual adat Seren Taun.
Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
BADUY di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwiedamar, Kabupaten Lebak bukan satu-satunya kampung atau desa adat di Banten, Indonesia. Di selatan provinsi itu, di sebelah Baduy hingga ke Kecamatan Bayah yang masih di wilayah Lebak, bahkan hingga kawasan Taman Nasional Gunung Salak – Halimun yang masuk wilayah Bogor dan Sukabumi di Jawa Barat, terdapat belasan kampung dan desa adat lainnya.
Beberapa kampung adat yang resmi tercatat di organisasi AMAN (Asosiasi Masyarakat Adat Nusantara) adalah kampung-kampung dan desa yang tergabung dalam Kesatuan Adat Kasepuhan Banten Kidul, yakni kelompok masyarakat adat sub-etnis Sunda yang sejak 600 tahun silam tinggal di sekitar Gunung Halimun, terutama di wilayah Kabupaten Sukabumi sebelah barat hingga ke Kabupaten Lebak, dan ke utara hingga ke Kabupaten Bogor.
Kasepuhan berasal dari kata Bahasa Sunda, yakni ‘sepuh’ yang berarti tua. Ini merujuk pada adat istiadat lama yang masih dipertahankan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat di kampung atau/dan desa tersebut. Sebagaimana di Baduy, masyarakat Kasepuhan Banten Kidul yang melingkup beberapa desa tradisional dan setengah tradisional, sebagai warga negara RI tetap mengakui kepemimpinan adat setempat.
Berbeda dengan di Baduy, pemimpin adat di masing-masing kasepuhan yang bergelar Abah, sekaligus juga merupakan Kepala Kampung atau Kepala Desa sebagaimana hukum administratif di Indonesia. Kasepuhan tersebut di antaranya adalahCiptagelar, Cisungsang, Cisitu, Cicarucub, Citorek, dan Cibedug. Ciptagelar sendiri melingkup dua Kasepuhan lainnya, yakni Kasepuhan Ciptamulya dan Kasepuhan Sirnaresmi.
Sama seperti posisi Pu’un di Baduy, sebagai pimpinan adat, Abah, dalam menjalankan roda kepemimpinan sehari-hari dibantu oleh para pejabat adat yang disebut Baris Kolot (Sd. kolot, orang tua; kokolot, tetua), yang sekaligus membantunya dalam urusan administratif desa. Baris Kolot juga yang membantu Abah untuk urusan-urusn administrasi, termasuk menyosialisasikan pentingnya warga menerima vaksin Covid-19.
Sama seperti desa-desa di kitaran Kanekes Baduy, umumnya warga kampung-kampung kasepuhan beragama Islam, sementara (kita semua tahu) Urang Baduy adalah penganut agama Sunda Wiwitan, sama seperti keyakinan sebagian warga Kampung Adat Cigugur di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Namun beda keyakinan tak membuat silaturahim terputus. Ada komunikasi adat menjalin kerukunan berbangsa.
Di Baduy tak ‘kan pernah kita temukan sawah, cangkul, gedung sekolah, sumur dengan timba air, kendaraan, ternak berkaki empat (semisal kambing atau kerbau), bahkan urang Baduy tidak berburu babi yang banyak di hutan, di luar 3 hari (Hari Ngalap) yang diizinkan tiap tahun. Karena semua itu tabu, pamali, teu meunang (tak boleh dilakukan), kuwalat ka adat atau melanggar adat.
Berbeda dengan situasi di Tanah Baduy, di kampung-kampung kasepuhan semua simbol-simbol kehidupan moderen itu sejak lama menjadi hal yang biasa dimiliki dan digunakan warga. Listrik juga sudah lama masuk, baik dengan sistem jaringan kelistrikan negara ataupun hasil pembangkit listrik tenaga air yang diupayakan masyarakat, menjadikan warga bisa berinternet atau punya WAG dan grup twitter.
Di Baduy hal ini tak kan terjadi, karena masyarakatnya sengaja memilih patuh pada tradisi leluhur, hidup sederhana apa adanya. Jalan kaki dan nyeker (nggak pake sepatu ataupun sendal) kemana-mana, kecuali urang Baduy Luar yang boleh melakukannya pada batas-batas yang dibolehkan adat. Jangan sekali-kali berponsel di Baduy Dalam, Nanti ikat kepala Anda yang berwarna putih, akan dicopot, tak boleh dikenakan lagi.
Demikian adat-istiadat Baduy.yang kukuh dijaga oleh masyarakatnya. Tradisi ‘teu meunang”, tabu, yang menjadikan Baduy satu-satunya masyarakat adat paling khas di dunia. Tradisi dan pilihan hidup yang patut diacungi jempol, amat sangat dihormati, juga oleh para sedulur mereka – sesama sub-etnis Sunda yang tinggal di kampung-kampung Kesatuan Adat Kasepuhan Banten Kidul.
Namun, betapapun majunya kampung-kampung kasepuhan (bahkan seorang Abah Anom biasa ke kota dengan mengendarai jip 4WD atau sepedamotor trail 175cc, untuk bisa menembus belukar hutan dan jalan lumpur berbatu-batu), adat lama tetap dipertahankan. Antara lain, semua kasepuhan memiliki leuit (lumbung tradisional khas Jawa Brat dan Banten), leuit pribadi maupun leuit komunal.
Leuit pribadi adalah lumbung milik orang-seorang atau keluarga. Yang menarik, sebangaimana tradisi Leuit di Baduy ataupun Kampung Naga di Tasikmalaya – Jawa Barat, atau tradisi Uma Lengge di Kabupaten Bima, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, leuit pribadi di Kesatuan Adat Kasepuhan Banten Kidul juga dibangun berkelompok atau berjajar di suatu lokasi kampung.
Leuit komunal adalah lumbung bersama milik warga, simbol kebersamaan warga, berupa lumbung besar yang disebut Leuit Ageng, biasa dibangun di pusat kampung atau desa. Di pelataran Leuit Ageng tiap tahun (menjelang atau setelah tanggal 17 Agustus) digelar upacara Seren Taun yang berarti seserahan tahunan, upacara syukur pada Sang Maha Pencipta yang sudah memberi limpahan rezeki setahun ini.
Datanglah ke acara Seren Tahun yang puncaknya berlangsung 3 hari. Di situ kita bisa saksikan bentuk-bentuk tradisi yang hidup dan berkembang di kampung itu, bahkan adat Banten secara keseluruhan. Jangan lupa memborong souvenir di lapak-lapak dagangan yang selalu ada di tiap acara Seren Taun. Ragam souvenir khas Banten, yang bisa jadi Anda temukan juga saat berkunjung ke Ciboleger di pinggir luar Baduy. ***
– 25/08/2021