Bagaimana pun dari gedung dewan lahir sosok bersinar seperti Rieke Diah Pitaloka (PDIP), Meutya Hafid (Partai Golkar) dan M Farhan (Nasdem) yang mumpuni di gedung dewan. Di tengah politisi Senayan, keduanya bukan “figuran” melainkan pemeran penting. Bahkan Meutya Hafid yang jurnalis senior Metro TV terpilih jadi Ketua Komisi I.
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
TERHADAP artis dan selebritis yang menjadi calon legislatif, saya tidak skeptis – tapi juga tidak optimis. Sejak zaman Orde Baru, yaitu 30 tahun lalu, deretan pesohor kondang ibukota sudah masuk gedung DPR-RI di Senayan menjadi anggota dewan.
Pedangdut Rhoma Irama, dan tokoh lawak Eddy Sud (alm), termasuk di antara nama nama besar yang pernah duduk menjadi wakil rakyat di Senayan. Belakangan penyanyi idola saya, Tetty Kadi juga dua kali menjabat di Senayan.
Perubahan apa yang mereka bikin untuk dunia seni, kebudayaan dan rakyat setelah mereka lama duduk di sana, tidak jelas. Sama tidak jelasnya dengan para artis penerusnya di era reformasi, yang juga duduk di gedung dewan – kemudian.
Sebenarnya – warga non artis sama saja. Kita sama sama tahu, dari 560-an anggota dewan yang tersorot publik tak sampai 50 orang yang tampil. Yang benar benar bicara atas nama rakyat lebih minim lagi, yang bicara ke publik lebih sedikit lagi. Yang bernyali bicara ke media hanya dihitung dengan jari sebelah tangan.
Yang lainnya: datang, duduk, diam, dengar, dapat duit. Dan aneka fasilitas plus, plus, plus.
Data statistik mengungkapkan di era reformasi, khususnya dua periode terakhir, gedung dewan diisi oleh pengusaha, pengacara dan keluarga pejabat. Selain selebritis.
Jika artis, pesohor, selebritis mengandalkan popularitasnya, sehingga partai lah yang mendanai kampanye mereka – sebagai pemancing suara – maka pengacara dan pengusaha serta keluarga pejabat, jelas berinvestasi. Keluar modal besar. Dan setelah terpilih berharap investasi kembali.
Para keluarga pejabat berharap anak isterinya ke gedung dewan, untuk menjadi bagian dari oligarki – sekumpulan elite yang mendapat previlige – diistimewakan dalam segala urusan. Jelas.
Demikian juga pengusaha dan pengacara ; dalam rangka mencari proyek, mengamankan bisnisnya dan nitip kasus – menjadi makelar kasus. Dengan menjadi anggota dewan lah anggota dewan bisa menggertak BUMN-BUMN, menteri perindustrian dan perdagangan.
Dengan adanya pembahasan proyek proyek pembangunan, bukan hanya mendapat bocoran pelaksanaan proyek yang dibangun pemerintah, dan menggunakan APBN – melainkan juga mendapatkan peluang pertama untuk ikut serta. Apakah mensuplai alat beratnya atau mengurusi konsuminya, semua beraroma proyek bisnis dan semua mendatangkan cuan miliaran rupiah. Hatta, ratusan juta pun tak apa. Sebab itu duit gampang juga. Kalau tidak dapat, sedikit maksa, atau cari gara gara, sampai dapat.
Demikian juga pengacara bisa menggertak pejabat kejaksaaan, kehakiman, bahkan menteri-menterinya, lalu setelah itu nitip nota / katabelece, untuk dibantu penyelesaian kasus kasus yang ditangani oleh firma hukum mereka.
Meski proses pemilihannya mengerikan, dengan peluang hanya 9% dari yang jumlah yang mendaftar bertarung untuk diterima, memenangi pemilihan – mereka nekad juga. Adadikenal sebutan “dapil neraka” karena diperebutkan secara sengit.
Dan meski diperas sana, sini, oleh rakyat pemilih, calo, tim pemenangan, oknum KPU, baik sebelum maupun sesudah terpilih – nyatanya banyak yang ketagihan ingin kembali terpilih di periode berikutnya.
Faktanya, para artis kemudian terekspos punya aset miliaran bahkan ratusan miliar rupiah, sesudah “mengabdi” sebagai anggota dewan.
Ada rekan artis yang berterus terang, kehadiannya di gedung dewan dan di pemerintahan, menjadi wakil gubernur, bupati, atau walikota merupakan kompensasi, setelah mereka bekerja keras membantu memenangkan pemilihan kepala daerah. Tugas utamanya adalah berkampanye dan memenangkan pemilihan. Setelah pemilihan dimenangkan, dia duduk dia menikmati jabatan dan semua fasilitasnya.
Tokh, seluruh proyek APBD diambil alih oleh kepala daerah terpilih.
SESUNGGUHNYA, jika Anda merasa diri Anda sebagai rakyat, yang aspirasinya ingin disalurkan – lalu hadir di rapat dengar pendapat di Gedung Dewan, siap siap saja Anda menahan malu dan dipermalukan. Saya pernah menontonnya dan sangat memalukan. Sebagai wartawan malu, sebagai rakyat juga malu. Tak ada perubahan sejak Orde Baru ke Orde Baru, kualitas wakil rakyat kita menyedihkan. Kualitas pertanyaan mereka sangat memalukan.
Peran khadiran para aktor aktris, pesohor di gedung dewan adalah mengajari mereka berakting. Sehingga meyakinkan awak media dan publik, dan utamanya tentu ketua partai mereka, selaku boss. Meski kemampuan alam sudah dimiliki mereka yang duduk di sana. Terlatih.
Ketika kamera media dan CCTV menyala, dalam rapat resmi, mereka tampil kritis – galak – bentak bentak – gebrak gebrak meja – mengancam bahkan tak ragu mengusir mitra mereka dari pemerintah.
Namun begitu media pergi dan lampu CCTV mati, usai dengar pendapat ditutup – mereka salaman, sembari bisik bisik nitip pesan, “tolong dibantu” – sembari menyelipkan nota / katebelece.
Di kalangan jurnalis senior yang kritis, kelakuan oknum dan bajingan di gedung dewan itu sudah jadi rahasia umum.
BAHKAN, saya mendapat dari cerita blak blakan dari pejabat senior di Dispenda DKI Jakarta tentang kelakuan politisi partai yang menjijikan. Ini sih di Pemprov DKI Jakarta, namun sama juga – hanya satu tingakt di bawah rekannya yang duduk di Senayan. Sama, kepanjangan partai dan masyarakat yang sedang mencari peruntungan di gedung dewan.
Di ibukota, yaitu di Jl. Kebon Sirih – Jakarta Pusat, untuk setiap anggota DPRD terpilih mendapat voucher dari Pemprov, masing masing – katakanlah – senilai Rp 1 miliar rupiah. Voucher itu boleh dibelanjakan oleh anggota DPRD terpilih untuk membangun wilayah pemilihnya, dan tidak bisa diuangkan. Anggota dewan boleh menunjuk kontraktornya atau dicarikan pejabat terkait.
Terserah saja, untuk memperbaiki jalan, membetulkan mushala, beli ambulan, speaker masjid, belanja pot dan pepohonan – menyediakan tong sampah – pokoknya supaya kelihatan ada hasil, agar rakyat terpilih memang berguna di daerah pemilihnya.
Namun, yang sungguh memalukan, selain menerima voucher, mereka minta petunjuk pada pejabat pemerintah, bagaimana caranya mendapatkan pendapatan tambahan selain gaji dan tunjangan anggota dewan.
Lalu pihak pemerintah yang menguasai proyek pun memberikan tutorialnya, termasuk daftar pertanyaan ketika sedang dengar pendapat dengan gubernur.
Alih alih anggota dewan bersikap kritis, para wakil rakyat di DKI juga tahu diri kapan harus bertanya, kapan diam, apa pertanyaannya, bagaimana mengajukan pertanyaannya – sesuai petunjuk dan arahan pejabata bawahan gubernur yang sudah pengalaman, agar di penghujungnya dia dapat proyek.
Memang tidak semua – tapi konon sebagian besar begitu. Karena itu, sekorup apa sang gubernur, mereka tak menumbangkan, karena mereka sudah dapat bagian.
KEMBALI ke gedung Dewan di Senayan. Saya tidak skeptis dan tidak optimis. Konon ada 54 artis, pesohor, yang mendaftarakan diri dan bertarung di Pemilihan Legislatif 2024 tahun depan.
Bagaimana pun dari gedung dewan lahir sosok bersinar seperti Rieke Diah Pitaloka (PDIP), Meutya Hafid (Partai Golkar) dan M Farhan (Nasdem) yang mumpuni di gedung dewan. Di tengah politisi Senayan, keduanya bukan “figuran” melainkan pemeran penting. Bahkan Meutya Hafid yang jurnalis senior Metro TV terpilih jadi Ketua Komisi I.
Tapi seorang pelawak kondang yang saya kenal baik dan dua kali jadi anggota dewan berterus terang, kehadirannya dalam tubuh partai dan dalam acara rapat dengar pendapat untuk mencairkan suasana. Di sana sana dia tetap berperan sebagai penghibur, sebagaimana di panggung dan di televisi.
Dengan demikian, rakyat seperti kita jangan banyak berharap darinya dan orang sepertinya. ***