Oleh RETNO MURTI
Hari ini hari Ulang Tahun Kemerdekaan kita yang ke 76. Di tengah-tengah makna kebangsaan yang banyak dibicarakan, saya teringat akan bincang-bincang saya dengan putri Poklamator kita, Meutia Hatta Swasono, putri sulung Bung Hatta tentang “rasa Indonesia” dalam kehidupan sehari-hari. Sungguh menarik dialog kami, khususnya ketika ia mengungkapkan pengalaman masa kecilnya dalam keluarga, yang membuatnya tumbuh sangat Indonesia.
Kakeknya (dari pihak ibu) berasal dari suku Jawa sementara neneknya suku Aceh, sehingga ibunya, Ibu Rahmi Hatta adalah perpaduan dua suku itu. Sedangkan ayahnya, Bung Hatta, adalah orang Minangkabau. Setelah dewasa Meutia menikah dengan Sri Edi Swasono, orang Jawa.
Sang Ayah diakuinya sebagai pribadi yang sangat disiplin. Suasana kedisiplinan itu menjadi bagian penting dalam kehidupan masa kecil Meutia dan kedua adiknya. Salah satu contohnya adalah soal berpakaian. Pada saat makan, misalnya, mereka harus berpakaian rapi. “Bahkan pada bulan puasa, saat sahur pun kami harus tetap berpakaian rapi, tidak memakai daster atau piyama,” katanya.
Ke-Indonesia-an dalam keluarganya tercermin dari kenyataan, bahwa para karyawan dalam rumah tangga itu terdiri dari orang-orang berbagai suku dan agama. Pengemudi dan para Asisten Rumah Tangga terdiri dari orang Betawi, Sunda dan Jawa. Sekretaris Pak Hatta adalah Pak I. Wangsa Wijajaya, orang Sunda yang beragama Islam sedangkan Sekretaris lainnya, Pak W. I Hutabarat, berasal dari Sumatra Utara dan beragama Kristen.
Sebagai pencinta buku, untuk mendata dan membuat katalog buku-bukunya Bung Hatta dibantu seorang Pustakawan yang berasal dari Ambon, juga beragama Kristen.
“Jadi sejak kecil kami sudah terbiasa hidup dalam keragaman budaya dan agama,” kata Meutia.
Kecintaan pada buku yang diajarkan sang Ayah, menjadi bagian penting dari pendidikan ketiga putri keluarga itu. “Kami sudah membaca buku-buku tentang berbagai daerah di Indonesia termasuk cerita rakyat yang berlatar belakang kebudayaan masing masing daerah,” kata Meutia. Mungkin itu juga yang membuatnya kemudian menempuh pendidikan di bidang Antropologi hingga mencapai gelar Doktor, dan hingga kini menjadi pengajar di Universitas Indonesia.
Keragaman budaya ini juga tercermin dari masakan yang dihadirkan sehari-hari. Berganti-ganti ada ada gudeg (Jawa), sayur asem (Betawi), rendang (Padang), dan begitu seterusnya.
Dengan demikian, caranya menyikapi hidup dalam kebhinekaan Indonesia sudah menjadi kebiasaan sehari-hari, bukan sesuatu yang dipaksakan.
Bagi saya, ini sungguh menarik.