Seide.id- Tiap orang pasti punya rasa nyaman. Rasa nyaman itu bagi saya bisa terlepas dari beragam keterikatan terhadap jadwal atau waktu, merdeka bisa menentukan apa yang saya mau, tak ada wajah nyinyir atau ketus kala saya berada di sebuah lingkup kelas sosial, tidak tergesa-gesa hingga melupakan benda-benda yang paling fatal pentingnya (seperti Hp), dan hak azazi serta kemerdekaan hidup yang menjadi hak saya seratus persen.
Hidup sebagai manusia yang berada di dalam ranah aturan-aturan kemanusiaan dan pakem kehidupan, pernah saya jalani. Bangun pagi, mengurus anak-anak mulai dari sekolah, memberikan asupan bergizi hingga mereka dewasa, jadi sarjana lalu bekerja sudah saya lakukan. Lalu beberapa puluh tahun bekerja di beberapa perusahaan dan menjadi jurnalis juga sudah. Masa kecil, mengurus adik-adik sekaligus membantu Ibu mencari uang juga sudah.
Sekarang di masa tua saya ingin menikmati hidup. Meski tetap ada pekerjaan yang saya jalani seperti menulis buku, cerita pendek, novel, bikin artikel, memasak, bikin kue, mengurus rumah dan tanaman, baca puisi bersama kalangan seniman, menyanyi, semuanya saya lakoni dengan hati riang tanpa ada keterpaksaan.
Saya hanya ingin mengisi waktu luang dengan beragam aktivitas yang tidak membuat saya tertekan. Ada duit atau tidak saya tidak ngoyo, tokh saya makan tak banyak .. Urusan penampilan pun jika ada dana saya bergaya dengan style yang saya suka, andai tak ada, dasteran di rumah pun cukup dan asyik-asyik saja. Yang pasti saya tak suka berada di antara mereka yang menjadikan suasana penuh dengan tipu muslihat, saling menjatuhkan dengan membuat skenario adu domba yang pada akhirnya ‘goal’ yang hendak mereka capai tak jelas. Orang-orang yang penuh rekayasa dan ‘plying victim’, hidupnya selalu tak pernah puas.
Saya telah melanglangbuana ke berbagai provinsi dan negara luar, dulu naik pesawat seperti naik angkot, karena tugas pekerjaan kadang saya hanya tiga hari berada di rumah. Hotel-hotel mewah dengan makanan kelas sultan pernah saya rasakan. Semua itu memang tinggal kenangan. Dan saya bahagia pernah merasakannya.
Kini, segala atribut kehidupan itu tidak begitu penting lagi buat saya. Mau bertandang ke rumah mewah saudara atau teman, nginap di hotel mewah, atau makan enak di sana, semua telah menjadi kenangan dari euforia sesaat. Sekarang, yang saya butuhkan adalah rasa nyaman atas tubuh dan jiwa saya.
Ada keluarga yang baik dan penuh perhatian, tenang tak ada gejolak, saya bisa menulis hingga larut, bangun tidur sesuka saya tanpa ada yang mengganggu atau marah-marah, menikmati kamar saya yang sederhana, penuh buku bersama laptop yang setia menunggu, mengetik menulis apa yang saya suka, sudah memberikan rasa nyaman bahwa itulah kehidupan yang sesungguhnya bagi saya. Masalah kemewahan hanya sebatas rasa. Jika rasa itu tidak ada dan tak dapat dinikmati dengan penuh bahagia, kemewahan tak ada artinya. Malah makan ketoprak di sebuah trotoar sambil ngobrol asyik dengan si penjual, itu bisa memberikan kenikmatan tersendiri buat saya.
Ada teman yang baik atau tidak pun hal itu tak penting lagi. Berada di ruang sunyi, menulis dan berkarya serta berselancar di jalur maya, waktu telah banyak tersita dan kehidupan tidak terbebani oleh ‘like n dishlike’. Bagi saya mau ditemani saya bersyukur, tidak juga tak apa karena ada imaji dan para buku yang bisa menjadi teman sejati, juga berselancar di jalur ‘kata’ dengan merdeka.
Perkara penyakit diabetes, jari-jari kebas atau nyeri, badan kerap demam dan pegal-pegal, dan segala penyakit lainnya, saya pasrah, tokh hidup dan usia ada batasnya, semua sudah diatur olehNya. Cepat atau lambat kita akan ‘cabut‘ dari bumi. Berkumpul dengan keluarga, para seniman, baca puisi, nongkrong di TIM sambil makan sate Padang, ngobrol-ngobrol dengan para sahabat yang baik hati, tulus dan tak ada intrik ahhh… rasanya saya telah berada di zone yang nyaman dan membahagiakan.
Fanny Jonathan Poyk