Ratu Soraya, Pejuang Emanisapasi Wanita Afganistan

Oleh DIMAS SUPRIYANTO

SUNGGUH mengejutkan menyimak laporan BBC kemarin, yang mengungkapkan bahwa negeri Afganistan pernah memiliki tokoh pejuang persamaan hak wanita, tokoh emansipasi, serta pendidik yang membuka sekolah untuk rakyat, seperti RA Kartini dan Dewi Sartika di Indonesia. Sayangnya perjuangan itu redup seiring dengan meningkatnya puritanisme Islam,  munculnya kelompok radikal Mujahidin dan penganut Islam bengis Taliban.

Di Indonesia kondisi yang sama sedang berproses. Jilbabisasi dan Arabisasi juga sedang berlangsung di sini, mengikis budaya asli wanita Nusantara.

Apakah kita juga akan dikuasai kelompok Islam intoleran ala Taliban?

Seratus tahun lalu, pada tahun 1920-an,  Ratu Soraya, isteri Raja Amanullah Khan,  penguasa Kerajaan Afganistan masa itu,  menegaskan, “perempuan tidak perlu memakai jilbab dan pria hanya perlu satu istri”.

Semasa berkuasa, di tengah penentangan saat itu, Raja Amanullah Khan “mengkampanyekan menentang poligami dan juga kerudung, praktik yang mereka terapkan sendiri,” sebagaimana dilaporan The Time untuk 100 Women of the Year pada Maret tahun lalu – yang dikutip BBC.

Ratu Soraya memperkenalkan pendidikan modern pada perempuan Afghan, yang di dalamnya termasuk sains, sejarah, dan pelajaran-pelajaran lain di samping pelatihan ekonomi rumahan dan topik-topik keagamaan yang lebih tradisional.

Sepak terjangnya mengingatkan kita pada perjuangan RA Kartini, wanita ningrat asal Jepara,  yang menggagas persamaan hak pria dan wanita, sehingga Indonesia kita memiliki wanita pejuang dan berpendidikan tinggi, seperti Maria Ulfah Soebadio, SK Trimurti,  Rohana Kudus, R. Rasuna Said, juga lahir penerusnya, seperti Sri Mulyani, Retno Marsudi,  Tri Risma Harini, Kofifah Indar Parawangsa, dll.

Saat Amanullah Khan memegang tahta pada 1919, istrinya, Soraya Tarzi, nama kelahiran Ratu Soraya, menarik perhatian karena gagasan-gagasannya untuk negara dengan kesukuan yang begitu mengakar sejak berabad-abad.

Di Afganistan pada masa itu,  Raja Aminullah menolak tradisi memiliki selir, sementara ratunya adalah “pelopor hak dan pendidikan perempuan…. dan dikenal sebagai orang yang pernah membuka jilbab di depan umum.”

“Saya raja mereka, namun menteri pendidikan adalah istri saya, ratu mereka,” kata Raja Amanullah pada 1926 memastikan peranan Soraya dalam proses modernisasi negara itu.

Dalam salah satu pidatonya pada 1926, ketika memperingati kemerdekaan Afghanistan, Ratu Soraya menyebutkan peran penting perempuan dalam sejarah mereka. 

“[Kemerdekaan] adalah hak kita semua dan itulah mengapa kita merayakannya. Meski begitu, apakah Anda percaya, negara kita sejak awal perjuangannya hanya membutuhkan pengabdian kaum pria? Perempuan juga harus turut berpartisipasi, seperti para perempuan turut andil di tahun-tahun pertama negara kita berdiri, juga Islam.”

PARA PAKAR sejarah sepakat Ratu Soraya adalah perempuan luar biasa di masanya.  Ia sering melakukan kontak langsung dengan perempuan di negaranya dan membicarakan hak-hak mereka.

Pada 2014, Putri India, anak bungsu Raja Amanullah, berbicara kepada Al Jazeera tentang peninggalan sang ibu.  “Ia membuka sekolah perempuan pertama dan menjadi contoh keluarga untuk mengizinkan dua anak perempuan tertuanya — kakak-kakak saya — untuk bersekolah.”

Berkat Ratu Soraya, kenang putrinya, sekolah dasar pertama untuk perempuan di Afghanistan, Sekolah Masturat, dibuka di Kabul pada 1921.

Sebanyak 15 siswi dari Sekolah Menengah Masturat, semuanya putri dari keluarga bangsawan Kabul, dikirim ke Turki untuk menempuh pendidikan lebih lanjut. “Capaian ibu saya masih sangat dihargai di Afghanistan,” katanya.  “Orang masih ingat pidato beliau sampai sekarang, bagaimana ia mendorong perempuan Afghanistan untuk menjadi mandiri… belajar membaca dan menulis.”

Ratu Soraya lahir pada 24 November 1899 di Damaskus, Suriah, yang pada saat itu adalah bagian dari Kerajaan Ottoman.

Pangeran Amanullah dan Soraya jatuh cinta dan menikah pada 1913 dan, setelah pembunuhan Habibullah, mereka naik tahta menjadi raja dan ratu.

Pasangan ini memimpin Afghanistan menuju kemerdekaan dari Inggris, yang diumumkan pada saat hari penobatannya pada 1919.

“Ratu Soraya, dengan gaya berpakaian ala Eropa dan pergi berkuda bersama suaminya, memiliki gelar kehormatan dari Universitas Oxford,” ujar wartawan Al Jazeera, Tanya Goudsouzian, pada 2014.

SEBENARNYA Afganistan sudah memiliki Gubernur Wanita yakni Salima Mazari. Tapi dia telah tertangkap Taliban, beberapa hari lalu, setelah dia memutuskan untuk melawan.

Salima Mazari, wanita gubernur itu,  tetap tinggal sampai provinsi yang di pimpinnya, Balkh dan distriknya di Chahar Kint,   jatuh ke tangan Taliban, setelah negerinya ditinggal Amerika Serikat. Pemimpin wanita yang gagah berani itu, memilih bertahan dan melawan, ketika elite lainnya, memilih kabur, melarikan diri ke luar negeri, termasuk Presiden Ashraf Ghani,  sampai kemudian Salima Mazari dikabarkan ditangkap Taliban.

Wanita Gubernur pertama di Afganistan Salima Mazari yang memutuskan bertahan di negerinya dan tertangkap Taliban (kiri) dan Wanita Walikota pertama Ghawari Zarifa (kanan) yang diselamatkan Pemerintah Jerman – foto Twitter.

Sedangkan Walikota Perempuan, Zarifa Ghafari, diselamatkan dan diterbangkan ke Jerman.  Zarifa Ghafari, yang merupakan salah satu Wali Kota wanita pertama di negara itu di Maidan Shahr barat Kabul, sampai Taliban merebut kekuasaan pekan lalu. Dia berterima kasih kepada pemerintah dan rakyat Jerman karena “menyelamatkan” hidupnya dan keluarganya.

Bersama para wanita berpendidikan lainnya, mereka terancam seiring dengan munculnya Taliban sebagai penguasa baru. Hukum Islam ala Taliban melarang perempuan beraktifitas, sekolah dan bekerja.  

RATU SORAYA, tokoh pendidik bangsa dari Afganistan, lahir di pengasingan, dan juga meninggal dunia di pengasingan. Namun sepanjang memimpin sebagai ratu di Afghanistan selama 10 tahun yang kontroversial, Soraya Tarzi telah memberikan harapan akan masa depan dengan persamaan hak bagi perempuan. Mimpi yang hingga seabad kemudian, belum terwujud.

Ratu Soraya Tarzi dan Raja Amanullah Khan dalam salahsatu lawatannya ke Eropa

Ayah Soraya, Mahmud Tarzi, adalah seorang politisi Afghan berpengaruh dan seorang intelektual yang memperkenalkan gagasan-gagasan liberal pada negaranya.

Pemikirannya yang progresif tak hanya menarik bagi Soraya, tetapi juga seorang pengikutnya yang paling setia, yang kelak menjadi menantunya dan raja di Afghanistan.

Soraya memainkan “peran penting dalam perencanaan dan implementasi perubahan yang berhubungan dengan perempuan, dan melakukannya melalui contoh dalam kehidupan pribadinya, yakni monogami”, kata Huma Ahmed-Ghosh, Professor Emeritus di Universitas San Diego, penulis makalah berjudul A History of Women in Afghanistan: Lesson Learnt for the Future or Yesterdays and Tomorrow, yang dipublikasikan oleh Journal of International Women’s Studies pada 2003.

Juga dengan menyediakan akses pada pendidikan dan pekerjaan untuk para perempuan di keluarganya, yang tampil di muka publik tanpa kerudung.

“[Raja dan Ratu] secara terbuka berkampanye menentang jilbab, menentang poligami, dan mendukung pendidikan untuk anak perempuan,” kata Ahmed-Ghosh.

“Dalam acara-acara publik, [Amanullah] berkata Islam tidak mewajibkan perempuan untuk menutup seluruh tubuhnya atau mengenakan penutup wajah khusus.”

Dan di akhir salah satu pidatonya, lanjut Ahmed-Ghosh, Ratu Soraya membuka penutup kepalanya, yang diikuti oleh istri-istri para pejabat yang menghadiri pertemuan tersebut. ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.