Seide.id – Di tengah situasi ekonomi global sedang mengancam seluruh negara, Bank Indonesia (BI) menerbitkan pecahan uang baru rupiah emisi 2022 yaitu terdiri dari uang kertas pecahan Rp100.000, Rp50.000, Rp20.000, Rp.10.000, Rp5.000, Rp2000, dan Rp1000.
Jika rupiah kertas tersebut diterawang, tidak terlihat tiga angka nol yang menggambarkan nilainya. Misalnya, rupiah pecahan Rp 1.000 ditulis 1, menghilangkan angka tiga nol. Redenominasi sendiri adalah penyederhanaan nilai mata uang yang dilakukan dengan mengurangi tingga angka nol pada rupiah. Misalnya, Rp 1.000 menjadi Rp 1.
Sehingga menjadi awal munculnya desas desus redenominasi rupiah. BI sendiri telah mengungkapkan bahwa penulisan tersebut disebabkan oleh bidang uang kertas yang terbatas sehingga pihaknya menghapus angka nol. Ukuran dari uang Rupiah emisi baru ini memang lebih kecil dari uang emisi sebelumnya.
Pemerintah Indonesia memang telah beberapa kali membicarakan wacana redenominasi. Terakhir, ketika Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77/PMK.01/2020 diterbitkan pada 30 Juni lalu.
Dalam aturan ini, Kementerian Keuangan telah mengusulkan rancangan undang-undang (RUU) redenominasi rupiah masuk dalam Program Legislasi Nasional 2020-2024. Namun, hingga saat ini, tidak ada kelanjutan pembahasannya.
Baiklah merujuk mengenai bagaimana kebijakan redominasi yang pernah terjadi di beberapa negara, yaitu Hungaria, Yunani, Jerman, Yugoslavia, China, Peru, Zimbabwe, Bolivia, Kongo dan Nikaragua. Bahkan ada diantaranya melakukan lebih dari sekali melakukan kebijakan redemonasi mata uangnya.
Sebenarnya kemunculan mata uang Uero dapat saja dikatakan sebagai redominasi pada wilayah luas dari nagara-negara yang menetapkan Uero sebagai mata uang kawasan negara-negara Eropa.
Penyebab sebagian besar negara yang menerapkan redominasi mata uang, memang dikarenakan adanya hiperinflasi di negara tersebut.
Selain juga karena adanya perubahan politik akibat beralihkan kekuasaan pemerintahan, atau karena terjadinya perang sehingga perubahan standard uang dari emas seperti yang terjadi di Jerman, atau kembali memakai dipatok standard emas seperti Hungaria, bahkan Yunani oleh karena keputusan politik moneternya pemerintahnya sering melakukan redominasi.
Redenominasi besar-besaran di Jerman setelah Perang Dunia I. Sebelumnya tahun 1914, mata uang nasional di sini adalah goldmark yang dikaitkan dengan standar emas. Tetapi setelah perang dimulai, akibat tidak adanya logam mulia yang tersisa untuk mendukung mata uang. Goldmark telah mendevaluasi dan mendapatkan nama baru – Papiermark. Itu didukung oleh tanah yang digunakan untuk pertanian dan tujuan bisnis.
Seusai Perang Dunia I, Jerman terpaksa harus membayar biaya rekoveri sesuai dengan Perjanjian Versailles. Dan tidak memiliki cadangan emas atau mata uang, maka pemerintah mengeluarkan uang kertas baru yang tidak terbatas untuk membayar utang. Kondisi ini menyebabkan Papiermark akhirnya runtuh.
Redominasi negara China, terjadi sekitar tahun 1948-1949 pernah melakukan redominasi Yuan, akibat munculnya hiperinflasi karena perang saudara dan perang China – Jepang. Pada tahun 1948, yuan emas diperkenalkan untuk menggantikan mata uang lama dengan nilai 3.000.000:1.
Pemerintah memaksa orang untuk menukar emas, perak, dan mata uang asing mereka dengan unit baru. Kerugian kelas menengah di China begitu tinggi sehingga pemerintah kehilangan dukungan utamanya dalam perang saudara.
Yuan emas, berganti menjadi Yuan perak namun tidak juga bisa hiperinflasi meski pemerintah telah melarang melakukan penimbunan dan kenaikan harga.
Pada tahun 1949, pemerintah baru menetapkan Renminbi sebagai mata uang nasional yang baru. Setelah hiperinflasi berhenti, 10.000 yuan lama ditukarkan dengan 1 yuan modern pada tahun 1955. Sekarang Yuan China adalah salah satu mata uang cadangan utama dunia.
Indonesia sendiri telah pernah melakukan redominasi rupiah, saat pertama kali menetapkan mata uang Rupiah sebagai alat tukar setelah Indonesia merdeka tahun 1945. Juga pernah melakukan redominasi rupiah yang pada waktu itu disebut sebagai Pengguntingan Uang di era Orde Lama.
Sebenarnya dapat disimpulkan bahwa redominasi mata uang bukanlah alat untuk menghentikan terjadinya hiperinflasi, namun lebih kepada sarana untuk lebih memudahkan transaksi uang. Maupun juga mengatasi dampak psikologis politik keuangan disaat situasi tekanan ekonomi sedemikian berat.
Bagaimana kerja-kerja riil dalam mempertahankan pertumbuhan ekonomi dengan harapan mampu mengatasi krisis yang sedang terjadi. Pekerjaan pembangunan dan kekuatan ketahanan ekonomi dalam menghadapi ancaman krisis adalah fundamental sebenarnya untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Redominasi mata uang tidak lebih pendukung untuk menguatkan dan percaya diri dalam tiap transaksi berjalan.
Untuk ini Perindo mengajak peran serta seluruh rakyat untuk terus tiada berhenti bekerjasama dalam menguatkan ketahanan bangsa dan negara Indonesia. Dengan persatuan seluruh rakyat dalam mendukung semua kebijakan pemerintah dan dengan dorongan bagi kepentingan seluruh bangsa, adalah kekuatan sebenarnya negara Indonesia.
Bekerjasama untuk kemajuan bangsa dan negara Indonesia bersama Perindo milik semua.
Penulis : Jeannie Latumahina
*Ketua Relawan Perempuan dan Anak Perindo