Seide.id – Sebagai bawahan, kita tidak berhak untuk menolak, apalagi membantah. Kita harus menurut dan patuh, ketika diberi surat sakti atau katabekece dari pimpinan. Mandat itu perintah yang harus diwujud-nyatakan.
Berbeda dengan saya yang rakyat kecil ini. Saya tidak mempunyai hak atau kuasa untuk memberi surat sakti itu. Jika pun diminta menilai seseorang, saya sekadar memberi referensi dan masukkan untuk dipertimbangkan.
Surat sakti, jika tidak ditindaklanjuti itu biasanya membuat kita terkena sanksi. Bahkan, lebih suloyo lagi, jika kinerja kita diragukan dan disangsikan. Lalu, apa jadinya, jika kita tidak dipercaya lagi?
Realita itu sering terjadi di sekitar, atau kita sendiri pernah mengalami hal itu.
Dulu, sewaktu bekerja pada orang lain, saya paling ogah ngolor alias mengambil hati bos, asal bos senang agar saya diberi fasilitas dan kemudahan. Bagi saya, kinerja baik dan berprestasi itu lebih utama ketimbang hidup berkamuflase.
Ternyata bekerja dengan baik, loyal, dan penuh dedikasi itu tidak cukup di negeri ini. Terutama, jika jabatan itu membuat orang lain jadi silau dan iri hati.
Sekiranya hal itu terjadi pada saya tidak membuat saya berkecil hati, patah semangat, dan lalu mutung. Sebaliknya, hal itu membuat saya termotivasi untuk bekerja makin baik lagi. Karena sesungguhnya, hakikat hidup yang amanah itu untuk melayani sesama.
Saya juga tidak tergiur dan ambisi untuk jadi pejabat atau presiden, misalnya. Bahkan jadi presiden itu ketentuan dan takdir Allah yang tidak bisa diganggu gugat.
Melayani dan membahagiakan hidup sesama itu lebih mulia, ketimbang jabatan yang membuat orang jadi silau, terlena, dan lupa diri. Apalagi, jika kita tidak mampu melaksanakan amanat itu dengan baik. Kita tidak bisa bekerja, atau jabatan itu sekadar status. Dan kita jadi penjabat boneka.
Emas asli dan emas imitasi itu kilaunya beda. Tapi pribadi yang rendah hati senantiasa berserah pada kehendak Allah.
(Mas Redjo)