Refleksi Hari Perdamaian Internasional : Ingatlah Kapan Perlu Berdamai, Kapan Harus Melawan atau Abaikan Saja

IVY SUDJANA

Dalam keseharian.

Seorang teman mengeluhkan dirinya diberi peringatan tak bisa mengeposkan atau menuliskan komentar oleh Facebook karena tak sengaja mengumpat di kolom komentar seseorang. Teman yang lain lagi curhat baru saja ia tweet war dengan seseorang yang tak dikenalnya di laman Twitter. Anak saya yang kecil bercerita tentang pertengkaran beberapa temannya di sekolah yang diakhiri dengan kesimpulan, ‘aku malas main dengan dia karena dia maunya menang melulu.’ Tayangan sinetron yang sambil lalu saya lihat ketika menunggui kendaraan di bengkel menunjukkan pertengkaran mulut yang tak henti antara dua orang perempuan dengan jeritan dan pekikan yang sungguh tak merdu di telinga.

Di dunia ideal

Tanggal 21 September lalu baru saja berlangsung momen Hari Perdamaian Internasional 2021 dengan tema ‘Recovering better for an equitable and sustainable world’. Dikutip dari situs PBB, seluruh warga dunia diajak bergabung dalam upaya pemulihan, membentuk dunia yang lebih adil dan damai dengan melawan segala tindakan kebencian online maupun offline dan dengan menyebar kasih sayang, kebaikan serta harapan dalam memerangi COVID-19.

Sungguh sebuah ironi. Ketika saya, mungkin juga Anda memanjatkan doa setiap malam agar bumi tempat yang kita tinggali dalam kondisi baik-baik saja, tidak terjerat konflik atau perseteruan apapun, yang menyebabkan korban manusia, makhluk hidup maupun alam sekitar.  Namun kenyataannya tak semudah menjalankannya setiap hari.

Damai, konflik, sepakat, berseteru adalah bumbu-bumbu sedap ketika seseorang masuk ke dalam sebuah masyarakat dengan berbagai karakter di dalamnya.Bahkan ketika berada dalam sebuah keluarga pun, friksi sebagai efek berinteraksi tak serta-merta bisa dihindari.

Kids Health pernah memuat tulisan yang mengurai mengapa kakak dan adik bertengkar dan tidak melihatnya sebagai sesuatu yang negatif. Pertengkaran adalah bagian dari tumbuh kembang, lalu merupakan ekspresi tingkat emosi anak yang tidak berbeda jauh usianya, serta sebagai hasil belajar  dari sikap mencontoh orang di lingkungannya.

Apapun ekspresi pertengkaran yang ditujukan oleh orang tua, tanpa disadari menjadi role model di mana anak akan belajar bahwa penyelesaian konflik yang paling mudah dan cepat adalah seperti yang dilihatnya sehari-hari. Baik berupa pertengkaran fisik maupun  silent treatment.

Lalu bagaimana dengan quote yang kini sering dilontarkan, ”It’s better to be kind than to be right” Benarkah pendapat tersebut? Tak perlu melulu mempertahankan kebenaran di saat bersikap penuh nilai kebaikan lebih penting di masyarakat yang sudah overloaded dengan konflik ini?

Kenyataannya bisa saja waktu itu kita memang harus bersikeras mempertahankan pendapat dan prinsip kita, bukan serta-merta mengalah.

Oleh karena itu, hal yang mungkin pertama dilakukan adalah memilah-milah konflik itu sendiri.

Konflik yang tak bisa diselesaikan hanya dengan berdamai

  • Bila kita mengalami perundungan kita harus berani melawan bahkan menyuarakan agar hal itu tak terjadi lagi.
  • Bila ‘lawan’ kita menduduki posisi tinggi atau menggunakan relasi kuasa dalam sebuah struktur, kita perlu menakar kemampuan kita untuk menghadapinya. Bila belum mampu, tinggalkan dan batasi berinteraksi dengan orang-orang tersebut.
  • Bila hal tersebut sesuatu yang tak bisa kita ubah seperti peraturan sebuah lembaga atau sesuatu yang sudah menjadi keyakinan sebuah masyarakat. Kalau mampu, tinggalkan lembaga itu atau keluar dari area masyarakat itu berada.

Berdamai dengan konflik seperti ini perlu kekuatan mental yang ekstra karena perasaan kita akan mudah sekali tertekan bersamaan dengan penolakan hati nurani kita untuk terus menyepakatinya.

Konflik ‘tak penting’ yang tak perlu kita ikuti

  • Perseteruan di media sosial, di mana posisi kita hanya pembaca komentar netizen saja
  • Argumentasi kerabat atau saudara di chat WhatsApp, di mana kita tidak terlibat
  • Perkelahian anak-anak di mana kita belum tahu masalahnya

Menjadi outsider dari sebuah konflik sangat tricky. Sebagai makhluk yang katanya sosial, kita sangat ingin untuk ikut campur dalam sebuah konflik bahkan tanpa keterlibatan kita di dalamnya.

Pada beberapa kasus perseteruan di media sosial malah mampu menyebabkan kita terjerat sanksi UU ITE hanya karena kita tak kuasa menahan untuk ikut memaki atau berkomentar buruk terhadap seseorang yang bahkan tak kita kenal sehari-hari.

Poin nomor tiga diasumsikan juga sering menyeret pertengkaran orang tua saling membela anak masing-masing. Padahal mungkin perkelahian di antara anak-anak tersebut hanyalah hal yang sepele dan bisa diselesaikan tanpa perlu keterlibatan orang dewasa.

Lalu, bagaimana bila kita berhadapan dengan toxic people. Apa kita harus berdamai selalu dengan mereka?

Ketika ada pertengkaran, toxic people akan memilih menjauh daripada duduk berbicara untuk mencari solusi. Mereka akan menutup komunikasi, tak menjawab telepon, pesan singkat ataupun email yang anda kirimkan. Mereka akan bermain dalam konsep playing victim, di mana seolah mereka menjadi korban yang dijahati kita terlepas masalah yang terjadi.

Jadi sewajarnya bukan berdamai, melainkan mengabaikannya. Toxic people sangat tidak menyukai situasi diabaikan karena mereka merasa sepi tanggapan.

Masalah memang tak terselesaikan, tetapi minimal tidak menambah kekesalan hati kita karena bertambah masalah baru mengurusi perilaku toksik orang tersebut.

Dari momen Hari Perdamaian Internasional seminggu yang lalu, kita menjadi diingatkan bahwa bersikap asertif maupun bersiap berseteru pun perlu pilih-pilih.

Berdamai dengan mengabaikan saja konflik tak penting atau tak berujung pangkal lebih membuat perasaan kita damai, karena tidak bertindak sesuatu yang (sesungguhnya) tidak bermakna apa-apa.

Avatar photo

About Ivy Sudjana

Blogger, Penulis, Pedagog, mantan Guru BK dan fasilitator Kesehatan dan Reproduksi, Lulusan IKIP Jakarta Program Bimbingan Konseling, Penerima Penghargaan acara Depdikbud Cerdas Berkarakter, tinggal di Yogyakarta