Dengan mengevaluasi wujud, waktu dan tempat marah, kita bisa melihat apakah ekspresi marah kita sudah wajar sebagai perasaan manusia, normal sebagai kekhawatiran wajar sebagai orang tua.
Lihat, cara ibu itu memarahi anaknya, kok keren sekali! ( Sungguh) Parenting yang bisa dijadikan teladan. Begini caranya menegur anak-anak. Ademm.
Sebuah konten pengasuhan yang membuahkan banyak like, tetiba menjadi penyeimbang ketika kita miris akan kasus kekerasan orang tua kepada anaknya. Banyak netizen tak habis pikir alasan orang tua yang tega melukai anaknya dengan dalih mental yang terguncang karena tetiba di-PHK.
Memarahi anak? Boleh tidak, sih? Lalu, munculnya kontroversi antara teori parenting yang menyatakan boleh memarahi asal tepat waktu dan alasannya, ada juga yang mengatakan tidak diperkenankan memarahi.
Dr. Nurul Afifah dalam bukunya berjudul Don’t Be Angry, Mom: Mendidik Anak tanpa Marah (2019), menyebutkan kerusakan sel-sel otak, gangguan pencernaan hingga jantung, ketika orang tua memarahi, apalagi sampai memukulnya. Belum lagi efek psikologis seperti kepercayaan diri yang menurun, dan menyebabkan anak dilanda rasa cemas berlebihan.
Pendapat itu didukung tokoh pendidikan Ayah Edy. Bahwa memarahi anak tiada bermanfaat baik sama sekali karena biasanya kemarahan itu tak lain merupakan tumpukan kekesalan yang dialami orang tua.
Saya pribadi, melihat ada relasi kuasa ketika orang tua memarahi anaknya. Sangat menantang, ketika orang tua dimarahi, baik oleh pasangan, orang tua, pimpinan di tempat bekerja, dsbnya; lalu tak ada yang dilampiaskan. Saat itu yang menempati posisi lebih ‘rendah’ adalah anak-anak untuk dijadikan sasaran empuk pelampiasan.
Contoh nyata apa yang dialami bungsu saya ketika berinteraksi dengan neneknya. Mereka kerap bertengkar, ribut mulut, dengan hasil akhir si bungsu menangis dan sakit hati.
“Aku nggak apa-apa dimarahi, asal jangan ada kata kasarnya.”
Age Gap dan Generation Gap yang jauh antara nenek, kakek dan cucu mungkin memperlebar perbedaan ini. Dari cerita si bungsu, saya paham gaya memarahi sang Nenek mungkin ala orang tua jaman dulu, yang ditujukan kepada saya (kecil). Sat set das des, dulu saya mau tak mau menurut tanpa kehendak untuk berdebat.
Kini, tak ada lagi sparring partner dalam arti obyek yang dimarahi, karena saya (dewasa) terbiasa melawan dan berdebat sangat alot. Dengan demikian dilampiaskannya hal itu kepada cucunya, yang tergolong masih anak-anak.
Sayangnya hal itu tak kena diterapkan kepada anak-anak generasi Alpha seperti cucunya ini. Mereka terbiasa tak segan mengamati bagaimana perilaku orang dewasa di sekitarnya, lalu membuat penilaian, dan harapan mereka kemudian adalah orang tua mau bernegosiasi.
Pandangan generasi Alpha ini sebenarnya sejalan dengan ahli pengasuhan yang berpendapat. Ketika situasi dipenuhi amarah, pihak yang perlu menenangkan diri seharusnya orang tua. Bukan seperti umumnya, ‘ayo kamu diam dulu, jangan marah, tidak emosi bicaranya!’, padahal nada kita yang jelas makin tinggi, karena sesungguhnya yang merasa marah adalah kita.
Selanjutnya di tulisan ini BUKAN membahas akibat dari marah kepada anak-anak, yang tentu sudah banyak dibahas tulisan lain, melainkan bagaimana agar MARAH ini menjadi wajar dan tepat sebagai emosi seorang manusia.
Mengapa Seseorang Marah?
Ketika remaja, ibu saya terkenal di kalangan teman-teman sebagai sosok yang galak. ‘Kalau main ke rumah Ivy, nanti disuruh pulang, pake sapu lidi’
Jujur, saya pun tak paham mengapa dijuluki demikian. Yang saya ketahui, Ibu saya memang memiliki akar permasalahan dari semua emosi, yakni rasa marah dan ditekannya ketika muda, dengan satu dan lain hal alasan.
Sesungguhnya marah adalah wujud wajar dari berbagai bentuk emosi. Merasa frustrasi = marah. Jengkel = marah. Tak sabar = marah. Tak tercapai keinginan = marah. Jalanan macet = marah. Dibohongi orang = marah.
Sayangnya rasa marah ini dianggap negatif dan sejak kecil kita didorong untuk tak ‘boleh’ memiliki perasaan tersebut, sehingga ‘terpaksa’ ditekan. Jangan suka marah-marah, nanti kamu nggak ada temannya. Nggak boleh marah-marah, nanti cepat tua. Padahal bisa merasakan marah, adalah sangat normal, wajar dan manusiawi sebagai manusia. Yang tak bisa diperlakukan seenaknya oleh orang lain, dan merupakan mekanisme pertahanan diri yang sangat mendasar.
Coba lihat contoh kasus sederhana pengasuhan sehari-hari, di bawah ini.
Ketika anak kita tidak tidur lebih cepat, padahal esok harinya perlu bersiap lebih pagi, lalu berakibat susah dibangunkan dan mungkin terlambat; anak kita kesal dan marah kepada kita, kita pun marah kepada anak. Dan hal itu merupakan kewajaran.
Ketika anak kita marah-marah, lalu meneriaki kita dengan kata-kata kasar, hanya karena kita menegurnya; marah kepada anak adalah kewajaran.
Ketika anak kita tidak membawa peralatan makan yang sudah dipergunakan ke tempat cuci piring dan mencucinya, padahal hal tersebut adalah bagian dari kesepakatan akan aturan rumah, marah kepada anak adalah kewajaran.
Ketika anak kita merusakkan ponsel kita karena men-charge secara sembarang, marah kepada anak adalah kewajaran.
Lalu, marah yang tidak wajar seperti apa?
Wujud, Waktu, dan Tempat Marah
Hal yang penting diingat tentang MARAH yang wajar sebagai emosi manusia adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana WUJUD dari kemarahan itu?
Apakah kita menegur dan mengatakan ketidaksukaan kita kepada anak akan perbuatannya? Atau malah berkata kasar? Apakah kita memukulnya? Melemparkan barang kepadanya? Merusak barang-barang yang ada di hadapannya, karena menahan diri untuk memukul? Apakah kita marah kepadanya adalah hasil dari ketidakmampuan kita marah kepada orang lain yang membuat kita terluka hatinya?
2. Kapan kemarahan itu kita tunjukkan?
Apakah sesegera setelah kejadian?
Apakah muncul terus menerus ketika anak mulai tak patuh (menurut kita)? Jadi dimunculkan secara berulang.
Apakah setiap saat, ketika kita tidak dalam kondisi mood yang baik.
3. Di mana kemarahan itu kita tunjukkan?
Apakah di rumah ketika berdua saja dengan anak? Apakah sesegera kejadian terjadi, jadi mungkin di sekolah, di hadapan teman-temannya. Atau di tempat umum di mana berpasang mata akan melihat.
Tentang tempat, saya punya pengalaman personal terkait memarahi anak saya yang berkebutuhan khusus. Sejujurnya, ketika melakukan hal tersebut, saya berniat menunjukkan kepada publik bahwa saya serius sebagai orang tuanya. Saya memerhatikan segala tindak tanduk yang dia lakukan. Jadi, wujud marah lebih ke ‘show off’ begini lho cara saya mendidiknya. Bukan membiarkan, memanjakan, hanya karena dia berkebutuhan khusus. Namun hal itu sebaiknya tidak dicontoh karena tetap saja saya mempermalukannya (tanpa sengaja).
Di lain waktu, saya juga pernah mengamati situasi ibu dan anak yang saling marah di tempat publik. Keduanya cemberut, adu ‘keras’ dengan sikapnya, tak mau mengalah. Pada akhirnya saya menarik kesimpulan, apa yang saya lihat tak lebih dari dua sosok ‘anak’ kecil yang saling bertengkar dengan kekeraskepalaannya, lalu karena ibu pada posisi yang lebih tak bisa ditawar, anak akhirnya sebagai pihak yang ‘kalah’.
Dengan mengevaluasi wujud, waktu dan tempat marah, kita bisa melihat apakah ekspresi marah kita sudah wajar sebagai perasaan manusia, normal sebagai kekhawatiran wajar sebagai orang tua.
Di penghujung tulisan ini, saya akhirnya berpegang pada pedoman ini, bila sedang marah untuk hal yang tak jelas. Bila saya marah melulu dan mencemaskan hal-hal yang tak bisa dikontrol, bukankah hal itu hanya akan membuat saya tampak lebih tua dari usia sebenarnya dan makin jauh dari rasa bahagia?
Kisah Perempuan, Drama Korea dan Realita
1,000 Orang Dipaksa Melakukan Penipuan Kripto. Dari Indonesia ada 143 Orang