Dalam pengantar kuratorialnya pada malam pembukaan pameran “Renaitre karya Giri Basuki di Institut Francais Indonesia”, Yulianto Liestiono mengatakan, bahwa selama dua puluh tahun mengenal dan mengamati perjalanan proses karya Giri Basuki itu membuatnya terkesima.
Menurut Yulianto Liestiono, dalam setiap pameran Giri Basuki selalu ada kebaruan, lahir ide, konsep, dan gagasan-gagasan baru dalam karyanya. Giri Basuki tidak terjebak dalam kemapanan berkarya yang boleh dibilang ciri khas seseorang.
Renaitre atau terlahir kembali bagi Giri Basuki maknanya adalah seniman itu tidak boleh stagnan atau terjebak kemapanan. Tapi harus selalu melahirkan gagasan atau konsep baru dalam setiap karyanya.
Pameran Renaitre Giri Basuki di Institut Francais Indonesia, 15 November-14 Desember 2022 itu tidak seratus persen sama dengan konsep Renaissance di Eropa yang mengadakan perubahan besar, di mana doktrin dan dominasi gereja saat itu dianggap merugikan masyarakat. Sehingga muncul gerakan Renaissance agar terbebas dari belenggu kekuasaan gereja.
Secara garis besar, ciri utama dari Renaissance adalah humanisme, yaitu memanusiakan manusia. Empirisme yang berarti kebebasan pengembangan ilmu pengetahuan, dan rasionalisme, yakni kebebasan dalam mengembangkan pikiran.
Berpijak dari pemikiran positif zaman Renaissance tersebut Giri Basuki mengembangkan kebebasan berpikirnya untuk berkarya pada media yang tak terbatas. Misalnya, salah satu karyanya yang berjudul Art meets Science digambarkan dengan kunci. Jika kita telah memiliki kunci dari keduanya maka segalanya akan jadi indah, tenang, dan damai. Karena, ilmu pengetahuan dan seni adalah dua hal yang saling berkaitan. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dan seni hendaknya harus saling belajar agar mampu mengubah dunia.
Di satu sisi, ilmu pengetahuan perlu belajar dari seni agar temuannya dapat diterapkan di dunia secara efektif. Dan seni perlu belajar dari ilmu pengetahuan agar proses kreatifnya mampu menjangkau dimensi kehidupan yang lebih mendasar.
Giri Basuki yang lahir di Kendal, Jawa Tengah, 11 Maret 1969 itu pada tertengahan tahun 1990-an tampil dengan lukisan abstraknya dengan potongan flexyglass yang membatasi ruang lukisan. Selama ia bergelut dengan dunia teater maka pengalaman-pengalaman batin yang dirasakan secara tidak langsung berpengaruh pada karya-karyanya. Seolah dia sedang mementaskan monolog batinnya dalam sebuah bidang kanvas.
Sedang Yulianto Liestiono, sang kurator itu memuji Institut Francais Indonesia yang telah memberikan ruang apresiasi bagi seniman-seniman muda Indonesia. Meskipun ruang Institut Francais Indonesia yang berlokasi di Jalan Wijaya I ini tidak besar, tapi dengan pemikiran yang besar menjadikannya berbeda dengan bangunan lain di sekitarnya.
Jan Praba