Untuk pelaporannya yang berani, mereka dianugerahi Penghargaan Kebebasan Pers Reporters Without Borders tahun ini — dalam kategori “Keberanian Jurnalistik”. Majdoleen Hassona (kiri) dan Zhang Zhan (kanan).
PADA awal Februari 2020, jurnalis independen Zhang Zhan melakukan perjalanan dari Shanghai ke Wuhan untuk melaporkan situasi dramatis secara langsung. Informasi yang disebarkan Zhang Zhan melalui media sosial, mencakup pemberitaan soal rumah sakit yang penuh sesak, krematorium yang kelebihan beban, dan warga kota yang terintimeiasi.
Sebelumnya, pada September 2019, mantan pengacara itu ditangkap dan dipenjara karena ikut serta dalam aksi solidaritas untuk Hong Kong. Selama ditahan, melakukan mogok makan, dan dibebaskan setelah 65 hari di penjara.
Namun, dia tidak membiarkan dirinya diintimidasi. Zhan terus menyebarkan informasi dari Wuhan sampai ia menghilang pada 14 Mei 2020. Tidak lama kemudian, dia dilaporkan telah ditangkap, dibawa kembali ke Shanghai, dan dipenjara tanpa dakwaan.
Pada Desember 2020, perempuan berusia 38 tahun itu dijatuhi hukuman empat tahun penjara karena “mencari pertengkaran dan memprovokasi masalah,” yang merupakan ungkapan umum yang digunakan pihak berwenang untuk menekan perbedaan pendapat.
Zhan memulai mogok makan lagi, yang berlanjut hingga hari ini, dan dilaporkan hanya memiliki berat badan 40 kilogram. Dia dipaksa makan melalui selang di perut dan tetap ditahan meskipun banding diajukan oleh banyak organisasi hak asasi manusia internasional.
Untuk pelaporannya yang berani, dia dianugerahi Penghargaan Kebebasan Pers Reporters Without Borders tahun ini — dalam kategori “Keberanian Jurnalistik”.
Dengan penghargaan ini, Reporters Without Borders berharap dapat menarik perhatian publik pada penderitaan Zhang Zhan. Sejak tahun 1992, penghargaan ini menghormati karya jurnalis dan media yang telah memberikan kontribusi luar biasa dalam membela dan mempromosikan kebebasan pers.
Selanjutnya, Majdoleen Hassona dipukuli aparat Palestina.