Respon

Maka, tibalah kita pada zaman di mana orang tak ‘merasa perlu’ membaca koran.

Seorang teman wartawan malah cuma mendapat senyum (mungkin pertanyaannya dirasa lucu) ketika dia menanyakan kenapa tak ada koran di lobi, di sebuah hotel sehabis sarapan.

Pertanyaannya dijawab oleh mbak resepsionis manis dengan sebuah pertanyaan:

“Haah,…apa pak? Koran?!
Senyuman si mbak resepsionis manis, silakan diartikan sendiri. Mungkin berarti: Hare geneeeh, masih aje nanya koran. Atau: Wah, sudah lama gak ada koran di lobi itu. Atau: Gak punya hp, ya pak ?

Dulu, ketika masih bekerja sebagai ‘tukang ilustrasi dan ‘tukang editorial kartun’, aku mau tak mau harus mengupdate berita, supaya bisa meresponnya, lalu menuangkannya dalam bentuk editorial kartun. Update berita itu salah-satunya tentu saja koran. Juga televisi (gadget baru mau mulai dan belum canggih) dan cerita dari teman-teman wartawan di lapangan.

Di sela-sela ketika belum mendapat gagasan yang paling pas, untuk media tempatku bekeja, biasanya aku merespon koran. Yak, merespon dalam arti harafiah.

Maksudnya? Aku merespon setiap berita yang menjadi headline dikoran yang aku baca, langsung dfn menggambar di atas koran itu. Medianya bisa cat air, cat akrilik atau cat poster. Tapi yang paling cocok dan mampu melekat paling kuat adalah tinta Cina.

Suatu kali aku merespon salah-seorang perempuan idolaku yang sedang menjadi pemberitaan di sana-sini (anak milenial bilang: sedang viral).

Dia adalah Aung San Su Kyi. Perempuan yang tubuhnya terlihat kurus, kecil dan terkesan ringkih. Tapi mentalnya luarbiasa kuat. Pasukan tentara yang didominasi oleh laki-laki yang terus meneror dan menekannya itu akhirnya mampu dikalahkannya!

Aku pernah melukisnya dalam beberapa versi. Sejak ‘hanya’ sketsa potret wajahnya, dia sedang duduk bersimpuh dan terlihat ringkih, sampai dia sedang duduk bersimpuh dengan dagu terangkat ditengah-tengah belantara yang terbuat dari sepatu tentara.

Seorang teman, sempat tergoda adrenalinnya, dan langsung ikut merespon koran, juga dengan gambar-gambar kartun. Malah dia sempat mengajak membuat banyak karya-karya itu dan…dipamerkan dengan tajuk: “Merespon Koran”

Tapi kekagumanku terhadap perempuan yang sempat meraih Nobel Perdamaian itu terganggu.

Diberitakan, ketika berkuasa, tentara di negaranya membantai banyak sekali warga sipil dalam sebuah peristiwa kerusuhan. Apa pun alasannya, bagiku pasukan bersenjata membantai warga sipil adalah suatu tindakan yang tak bisa dibenarkan.

Ketika seorang wartawan ingin mewawancarai Aung tentang peristiwa pembantaian itu, konon dia nampak mengekspresikan sikap tak senang bahkan sinis sambil menanyakan: apa keyakinan sang wartawan!

Aku jadi teringat quote Abraham Lincoln:

“Jika ingin mengetahui karakter asli seseorang, berilah dia kekuasaan!”

Gambar-gambar itu belum terlalu banyak. Aku kumpulkan di sudut sebuah loteng rumah yang aku ‘sulap’ menjadi studio lukis.
“Keberuntungan tak bisa diraih, seperti juga kemalangan tak bisa ditolak”, kata sebuah pepatah.
Gambar-gambar itu ambyar, hancur terkena air hujan ketika ‘studio sulapan’ di rumahku bocor.
Hanya ada beberapa yang terselamatkan, salah-satunya yang aku share sebagai ilustrasi ini…

Aries Tanjung