Restropeksi Menjelang 17 Agustus

foto karya Hendrique Avocado

Oleh DAHONO PRASETYO

Menjadi Indonesia buka tentang tebalnya rasa Nasionalisme dan menelan habis kisah perjuangan Pahlawan dalam buku Sejarah. Karena generasi dan segala usaha perjuangan sudah berubah, dari melawan penjajah menjadi mempertahankan keutuhan bangsa dari usaha adu domba memecah belah dari sisi agama, politik, ekonomi hingga budaya.

Ini jaman di mana kebohongan dan fitnah mengalami over-production. Para Politikus yang senantiasa berjanji membangun jembatan, padahal sebenarnya sungai,ngarai, jarak dan persimpangan itu tidak ada. Kebohongan menjadi cara efektif menyerang lawan. “Kekuatan tidak terletak pada pertahanan, tapi pada serangan” demikian Hitler seorang ahli strategi pernah berkata. Begitu pula Maradonapun pernah merkata bahwa “Menyerang adalah pertahanan yang terbaik”.

Serangan kepada Pemerintah yang sah tak lantas surut, cederung makin membabi buta. Pemerintah yang dituduh sekuler menjadi alasan ajakan “pemberontakan” ideologi. Segala kebijakan tak ada sedikitpun baiknya meski sebiji merica sekalipun. Lantas mereka lupa sedang berkembang biak dan bangun pagi di negeri mana.

Lalu kerukunan, keharmonisan dan keberagaman kita telah direkayasa menjadi perbedaan yang disangsikan. Berbondong-bondong mulai mencintai ego sendiri. Toleransi menjadi mahal karena sekat dibangun berdasarkan suka dan tidak suka. Koreng, bisul, panu dan segenap luka masa lalu dibuka namun tidak untuk disembuhkan. Dibiarkan mengering menjadi provokasi masif dalam bumbu dogma agama.

Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai Pahlawannya. Sedangkan bangsa kerdil adalah bangsa yang menghargai diri sendiri tanpa memberi ruang kepada orang lain untuk menghargai.  Bukankah kejayaan suatu bangsa tidak melulu ditentukan oleh kehebatan pemimpinnya, namun juga diukur dari kecerdasan penghuninya. Adilkah kita saat terburu buru menuntut pemimpin yang cerdas saat kita sendiri masih gagal mencerna perkembangan jaman?

Upaya mempertahankan Pancasila kian hari lebih berat. Waktu berjalan dengan kecepatan melebihi daya analisa kita. Merusak Pancasila semudah meng-Amini doa, merobek Kebhinekaan sefasih teriakan takbir. Dan waktu kita semakin sempit, habis untuk berdebat, beropini, berprediksi di saat sebenarnya kita butuh tindakan nyata bukan retorika.

Selama 76 tahun kita masih sepakat tentang NKRI hingga hari ini. Sementara upaya mengganti ideologi belum tertangani dengan tegas. Keraguan pemerintah terbaca ketika hanya mampu membubarkan kelompok perlawanan, namun lalai menghentikan sumber-sumber dana penyubur kelompok lain sejenisnya. Kelompok Intoleransi dan radikal bebas mustahil dibasmi saat pundi pundinya tak tersentuh pasal pasal hukum. Dana melimpah yang terus mengalir dari aneka sumber cukup untuk “membeli” oknum2 PNS, Aparat, Lembaga Keagamaan, petinggi BUMN dan oknum BEM di kampus kampus. Menciptakan kerusakan dari dalam sambil menyebar benih baru.

Jika itu yang terus terjadi, bukan mustahil suatu saat mereka mampu “membeli” Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika kita. Dan anak cucu kita hanya bisa mewarisi serpihan bangunan bernama Indonesia.

Agustus ini akan tetap meriah merah putih, meski tanpa keceriaan lomba 17-an. Pandemi yang seharusnya menjadi peringatan untuk mawas diri perlahan menjadi jumawa diri merasa paling bisa menyelesaikan persoalan rumit.

Orang-orang baik pergi menyerah pada pandemi, melahirkan orang baik baru. Itu siklus yang menawarkan pilihan untuk kita. Menjadi bagian dari perbaikan bangsa, atau cukup menjadi penonton di pojokan sejarah.

Depok 04/08/2021

Avatar photo

About Dahono Prasetyo

Pekerja Seni, Lulusan Akademi Seni Drama dan Film (1996), Penulis Skenario dan Kolumnis di beberapa media, tinggal di Depok