Dari kegighan dan keluwesannya berdiplomasi Indonesia menjadi Presidency di Dewan Keamanan PBB dan membangun jaringan perempuan Indonesia Afganistan untuk memberdayakan wanita Afgan bila kelak negeri itu normal kembali.
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
DIA – Retno Lestari Priansari Marsudi, Menteri Luar Negeri kita, merupakan wanita andalan Presiden Jokowi saat ini – selain Menkeu Dr. Sri Mulyani. Tak salah lagi. Penghormatan para pemimpin dunia pada Jokowi tak bisa lepas dari diplomasi luwes Retno Marsudi selain kinerja jejak rekam dan kinerja presiden sendiri.
Di luar sana, ada banyak negarawan yang populer di negerinya tapi di luar negeri tak dikenal. Dunia tak tahu. Jokowi sebaliknya. Dia populer di luar negeri, tapi di negeri sendiri banyak mendapat nyinyiran.
Retno Marsudi merupakan Menlu pertama di Indonesia yang menjabat sejak 2014 dan terpilih kembali di kabinet 2019. Sebelum jadi Menlu dia merupakan Dubes RI untuk Kerajaan Belanda di Den Haag.
Retno mengaku, di memang bercita cita jadi diplomat. Diplomat dari sebuah negara dengan penduduk Muslim terbesar di Indonesia, katanya dalam pengantar buku Ibu Kemanusiaan : Catatan catatan Perempuan untuk 86 tahun Buya Ahmad Syafii Maarif. (penerbit buku Langgar, 2021).
Tapi, Retno mengenangkan, latar belakangnya dari keluarga sederhana dan perempuan sempat membuatnya gamang apakah dia mampu mewujudkan cita citanya itu Faktor perempuan memimbulkan kegamangan pada dirinya, karena, katanya dunia diplomasi adalah dunia laki-kali.
Di masa lalu diplomat memang dunia laki laki. Perempuan menjadi “minoritas”. Mungkin kondisi ini memunculkan anggapan bahwa diplomasi adalah dunia laki-laki. Tantangan profesi ini juga dinilai banyak orang tidak pas dengan perempuan. Bekerja dengan tekanan yang tinggi, tidak mengenal waktu, tidak mengenal tempat, dan lain sebagainya.
Selain itu, kenang Retno, sebelum diterima bekerja di Kemenlu, untuk menjadi diplomat harus memiliki “cantolan” di Kementerian Luar Negeri, “padahal saya ini “nobody”, saya bukan siapa siapa” katanya.
Jalan menuju cita-cita mulai terlihat terbuka pada 1985 – ketika Kementerian Luar Negeri melakukan rekrutmen langsung ke beberapa universitas di Indonesia untuk menjaring para calomat diplomat baru. Saat itu Retno baru menyelesaikan pendidikan sarjananya di Universitas Gajah Mada.
Retno Marsudi lahir di Semarang, Jawa Tengah, pada 27 November 1962. Dia menempuh pendidikan menengah atasnya di SMA Negeri 3 Semarang sebelum kuliah di Yogyakarta. Lulus tahun 1985.
Melalui proses yang berlapis, pada 1986 dia akhirnya diterima menjadi pegawai Deplu.
“Proses perekrutan calon diplomat yang luar biasa, ” kenangnya. Karena Kementerian Luar Negeri berani melakukan terobosan baru, menjaring para calon diplomat langsung dari universitas. Tidak ada “katebelece”, tidak ada nepotisme.
Sistem rekrutmen dan transparansi ini didasarkan pada sejarah Kementerian Luar Negeri dimana yang paling penting adalah transparansi sistem, yang merupakan kunci untuk mengubah dan meningkatkan memori.
“Sebagai orang yang diuntungkan oleh sistem rekrutmen yang transparan, kewajiban saya untuk menjaga dan memprokokohnya, ” kata diplomat memperoleh gelar S-2 Hukum Uni Eropa di Haagse Hogeschool, Belanda ini.
“Saat ini, kita dapat tersenyum melihat perbandingan jumlah diplomat perempuan dan laki-laki yang sudah membaik, dengan komposisi 38 banding 62 persen, “ungkap Retno.
“Bandingkan dengan angkatan saya di tahun 1986, yang jumlah diplomat perempuannya hanya 10%. Ini adalah yang pertama yang telah diterbitkan selama 15 tahun, ” paparnya.
“Yang lebih membanggakan para diplomat perempuan kini – terutama diplomat muda – memiliki ketangguhan luar biasa, ” ungkapnya.
Anda bisa lihat di YouTube bagaimana diplomat perempuan muda Indonesia di forum PBB menggasak dan membungkam diplomat Vanuatu yang nyinyir pada Papua
Kini semua orang tidak lagi takut bermimpi untuk menjadi “somebody” – tegas Retno. Dari golongan sosial mana pun. Baik dia laki- laki ataupun perempuan – jelasnya.
selanjutnya Pujian Hillary Clinton