Ribut Untuk Apa?

Foto : Gisela Merkuur/Pixabay

“Jika Ibu Bapak mau ribut, alangkah baiknya tidak di depan kami,” protes anak bontot saya, KR, ketika malam itu saya berdebat dengan istri.

Saya terperangah. Wajah saya seperti ditampar keras. Kata-kata yang hendak meluncur ke luar mulut itu segera kutelan kembali. Lalu, kuhela nafas panjang dengan senyuman.

“Emang Ibu Bapak ribut?”

“Kalo tidak, kenapa saling ngotot dan tidak ada yang mau mengalah?!” KR balik bertanya.

Saya dan istri beradu pandang dalam diam. Untuk menutupinya, dan agar urusan tidak memanjang, saya lalu mengalihkan pembicaraan ke hal lain.

Itulah kesepakatan bersama yang kami buat dengan anak, jika bertukar pikiran itu kami tidak boleh ngotot. Alasannya, agar tidak didengar oleh tetangga. Malu!

Kenyataan, disadari atau tidak, kita sering melanggar hal itu di depan anak-anak. Ngotot, eyel-eyelan, debat kusir yang bikin emosi, dan menguras energi sia-sia.

Padahal dengan bertukar pikiran dan melibatkan anak untuk membahas hal yang bermanfaat itu sangat indah. Hubungan orangtua dan anak pun makin dekat, akrab, dan mesra.

Malu dengan anak dan malu didengar tetangga itulah komitmen kami bersama. Sehingga dalam bertukar pikiran pun kami berusaha menjauhi hal-hal yang bersifat negatif. Misal, tidak menjelek-jelekkan dan membuka aib orang lain. Alasannya, agar kami tidak menyebar racun dalam keluarga. Tapi membicarakan hal yang positif itu banyak manfaatnya untuk pembelajaran diri agar hidup ini makin bermakna.

Kini, dengan saling mengingatkan, kami jauh dari emosi, tidak mudah sakit hati, apalagi mutungan.

Mengingatkan dengan kasih itulah resep keluarga kami untuk saling menyayangi dan menguatkan. Bersikap terbuka, jujur, dan saling percaya. Tujuannya, agar tidak ada dusta di antara kami.

Semoga!

Ribut, Ribet, Ruwet…

Avatar photo

About Mas Redjo

Penulis, Kuli Motivasi, Pelayan Semua Orang, Pebisnis, tinggal di Tangerang