CERPEN OLEH BELINDA GUNAWAN
Namanya Riris Amarilis, tapi ia memlesetkannya sendiri jadi Riris Penulis. Hari itu ia mantap menuju rumah di ujung jalan itu. Di situ ia pernah melihat seorang gadis cilik bergaun merah di balik kaca jendela. Dan entah mengapa di toko fotokopi tadi ia langsung terpikir akan anak itu sebagai pembaca pertama bukunya.
Ya, ia penulis buku. Riris Penulis mengintip kantung plastiknya sekali lagi. Di situ ada buku anak berjudul “Bunga Matahari”, hasil ketikannya sendiri yang diberi gambar, lalu difotokopi dan dijilid menyerupai sebuah buku.
Buku ini dibiayainya sendiri dari hasil penghematannya selama sebulan. Kalau yang lain jajan di kantin kampus, ia membuka bekal dari rumah. Akhirnya terbitlah buku pertamanya secara “self published”. Hanya lima tapi tidak apa. Sekarang ia menuju rumah pembaca pertamanya.
Ha… kebetulan anak itu sedang berada di halaman. Dan masih berbaju merah sehingga Riris yakin, ia anak yang sama. Ia pun bergegas. Tapi yaaah, seorang wanita keluar dari pintu rumah dan menyuruh anak itu masuk tanpa Riris sempat melihat wajahnya.
Untunglah wanita itu — Ibunya? Neneknya? — masih berada di luar. Riris akan meminta izinnya untuk bertemu si bocah baju merah.
“Bu! Bu!” ia memanggil sambil berlari-lari kecil.
Riris berhadapan dengan wajah angker: mata yang cekung di balik kacamata bulat ala John Lennon, mulut yang cemberut, ekspresi jengkel dan tidak sabaran.
Riris Penulis, nyalinya ciut seketika.
“Ibu, Bu…” Riris Penulis menyapa dengan terengah-engah.
“Ya, ada apa?”
“Aku kepingin… ketemu anak Ibu.”
“Anak yang mana?”
“Oh, maaf, mungkin cucu.”
“Cucu yang mana?”
“Itu lho Bu, yang tadi main di sini, berbaju merah.”
Mata cekung di hadapan Riris itu melembut, lalu melotot lagi. “Ada urusan apa kamu dengan anakku?”
Ooooh, anak, pikir Riris. Kok setua ini anaknya masih kecil. Ia berhitung dalam hati: kalau ibunya berumur 70 tahun, berarti ia melahirkan dalam usia kepala 6. Apa mungkin?
“Jadi kau mau ketemu Ananda? Apa maksudmu? Awas, jangan macam-macam.”
Jadi namanya Ananda. “Bu, aku tidak ada maksud jelek. Hanya ingin memberi buku ini padanya. Gratis, Bu. Ia bisa baca sendiri, atau Ibu bacakan. Aku yang menulisnya sendiri, Bu, tentang gadis kecil 8 tahun yang menghargai alam….” Kalau sedang gugup, Riris Penulis mendadak jadi bawel.
“Mana bukunya? Beneran gratis?”
Ibu itu mengambil buku yang diangsurkan Riris, dan menatapnya dengan skeptis. “Huh, fotokopian.”
“Biarpun fotokopian, isinya bagus, Bu.”
Melihat si Ibu menerima buku itu, Riris jadi berani. “Bu, bolehkan aku…ketemu Ananda?”
“Tidak. Dia tidak boleh keluar rumah, makanya aku panggil masuk. Kamu jangan harap bisa ketemu dia.”
“Kalau begitu aku titip bukunya, Bu. Tolong berikan padanya.”
“Eh, tunggu, tunggu. Maksudmu…kamu bisa MELIHAT dia?”
“Iya Bu, seminggu lalu di balik jendela, dan tadi di halaman depan.”
“Oh, jadi…aku tidak salah, aku tidak salah!”
Tangan si Ibu bergetar keras sehingga buku Bunga Matahari jatuh ke tanah. Ia menutup mulutnya dan bergegas masuk ke rumah. “Nanda…Nanda!” serunya.
Waktu Riris Penulis membungkuk mengambil bukunya, dilihatnya sepasang kaki mengenakan high heels berdiri di situ.
“Hai,” seorang wanita yang kira-kira sebaya mamanya menatap dengan ramah. “Kelihatannya kau habis dimarahi ibuku. Maaf ya, Dik.”
“Kakak…eh Tante lihat?”
“Iya, waktu aku memarkir mobilku di situ tuh, di samping taman.”
Riris melirik kantong plastik yang dibawa Indrawati.
“Aku membawa makanan nih. Ibuku suka malas makan kalau tidak dibawakan. Ini jatah seminggu.”
“Tante, aku boleh nitip buku ini buat Ananda?”
“Buat siapa?”
“Anak kecil yang di dalam rumah ini. Adik Tante?”
Indrawati tersenyum kecil. Pikir Riris, di dalam novel ini disebut senyum misterius.
“Kalau kamu ingin tahu, tunggu di taman itu ya. Nanti kuceritakan. Aku tidak lama.”
“Titip ya Tante, buat Nanda?” Riris menegaskan.
“Oke deh, aku masuk dulu, ya.”
Untung hari ini tidak ada kuliah. Riris Penulis jadi punya waktu luang. Ada kuliah pun, akan “dijabanin” demi menjawab tanda tanya yang berjejalan di kepala.
Ia menyeberangi jalan sambil menyesali diri, kenapa tadi tidak minta ikut masuk. Riris kepingin sekali melihat wajah Ananda, pembaca pertama bukunya. Mungkin ia cantik dengan rambutnya yang ikal terurai melewati bahu.
Di bangku taman ia merintang waktu dengan membuka salah satu bukunya. Uuuups, ada satu dua typo… padahal buku anak harus sempurna sampai ke titik koma. Mudah-mudahan kesalahan kecil ini tidak membuat Ananda bingung.
“Hei, nggak lama kan?” Indrawati tadi hanya mengatur mana yang ditaruh di meja, mana yang di kulkas dan mana yang di freezer. Sudah biasa. Lagipula ia penasaran pada tamu ibunya.
Riris mengangkat kepada. Lho, kok si Tante masih membawa bukunya?
“Aku tidak ketemu anak itu,” katanya, “dan ibuku menolak dititipi. O ya, kita berkenalan dulu. Namaku Indrawati, kamu boleh memanggilku Tante I-in. Kamu…Riris, ya. Kamu yang menulis buku ini?”
Riris tersenyum malu. Sebenarnya ia segan mencantumkan namanya di sampul buku. Tapi kan memang biasanya begitu?
“Ris, sesungguhnya aku belum pernah bertemu dengan anak itu.”
Hah?
“Ibuku, orangnya…unik,” kata Indrawati. “Salah satu contohnya, ia seperti tidak ingin anaknya tumbuh dewasa.”
Melihat ekspresi Riris yang keheranan, Indrawati melanjutkan, “Ketika aku kecil, ia sering bilang, ‘In, kamu jangan cepet besar, ya?’ Waktu sudah gedean aku meledeknya, ‘Kenapa aku tidak dibonsai saja?’ Lalu ketika aku menikah, ia patah hati. Untung ada papaku yang bisa menenangkannya.”
“Sekarang Tante punya anak?” sela Riris.
“Ya, dua. Tapi sejak dulu aku tidak ingin mereka terlalu dekat dengan mamaku.”
Riris mencoba memahami logika dewasa itu. Bukankah ia sudah 19 tahun dan tergolong dewasa?
“Lalu papaku meninggal. Mamaku tidak mau tinggal dengan abangku. Sebenarnya, istrinya juga tidak cocok dengan Mama. Maka kami mendukung niatnya membeli rumah kecil yang ditaksirnya.”
“Rumah itu?” Riris melihat ke seberang jalan. Sekarang pintunya rapat dan jendelanya bergorden tebal.
“Ya. Sebelumnya kami mencari tahu dulu riwayat rumah itu. Mengapa rumah yang lumayan cantik itu dijual dengan harga terjangkau. Dan mengapa, sudah bertahun-tahun rumah itu kosong.”
“Lalu?”
“Kalau menurut istilah feng shui atau apa, rumah itu panas. Dulu pernah terbakar, lalu di-reno menjadi bentuknya yang baru. Jadi awalnya kami was-was, tapi Mama memaksa. Katanya, ketika ia masuk ke rumah itu, ia merasa sejuk.”
“Oh? Mungkin karena jendelanya besar?” tanya Riris.
“Entah, tapi Mama betah di situ. Dan memang Mama kelihatan tenang dan nyaman.”
“Syukurlah.”
“Belakangan ia keceplosan omong, bahwa dia happy karena di situ ada seorang anak yang membutuhkannya, menerimanya apa adanya, tidak rewel, dan…tidak bisa tumbuh besar.”
“Ananda!” Oh, jadi…jadi…Ananda ikut jadi korban api? Memikirkannya saja Riris tidak tega.
“Akhirnya, oh, bukannya kami tega… kami biarkan Mama tetap tinggal di situ. Yang penting, tidak berbahaya dan Mama bahagia.”
Riris tak tahu harus berpikir apa. Ia kaget ketika Indrawati menyenggol lengannya dan bertanya, “Ris… kamu sungguh bisa MELIHAT anak itu?”
Pertanyaan yang sama dengan yang diajukan wanita itu! Riris menjawab apa adanya, “Iya, Tante, dua kali aku melihat anak berbaju merah itu.”
“Merah itu…api,” Indrawati menggumam pelan, lalu lanjutnya, “Ris, mungkin kamu juga…berbakat!”
“Berbakat apa?” tanya Riris..
“Bakat…indera keenam,” kata Indrawati, “bisa melihat sesuatu, seseorang, yang tidak tampak oleh orang lain.”
Riris pernah mendengar soal kemampuan khusus itu. Ia tidak tahu apakah ia memang memilikinya, dan kalaupun iya, apakah itu karunia atau sebaliknya. Ia menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri. “Ada jalan buat apa pun masalahku,” ia mengulang mantra yang disarankan ibunya setiap kali ia galau.
“Ris? Kamu tidak apa-apa? Maaf, telah mengejutkanmu.”
“Aku gapapa, Tante.”
Sepanjang perjalanan pulang, Riris mengembangkan bakatnya yang lain. Ia merancang plot untuk bukunya yang kedua, tentang Amanda si bocah selamanya. Aha, pikirnya, seperti tokoh dongeng Peter Pan!