Jangan bilang, nasib kita ibarat roda yang tengah berputar. Kadang berada di atas, kadang pula berada di bawah. Bagaimana roda itu mau berputar, jika tidak ada yang menggerakkan atau yang memutarnya? Begitu pula dengan hidup kita. Jika kita tidak mau bergerak, berusaha, dan berjuang untuk memutarnya sendiri kehidupan itu, sehingga jangan sampai ada di bawah.
Nasib itu bukan suratan takdir. Terlalu naif, jika kita beranggapan, bahwa nasib itu datang dan berasal dari Allah.
Ketika gagal, terpuruk, dan kita hidup menderita, semua itu bukan karena Allah. Tapi, semua itu berasal dari kita sendiri! Kita malas, ceroboh, abai, tinggi hati, dan seterusnya. Kita teramat mudah untuk komplain, mengeluh, bahkan menyalahkan orang lain atau kepada Allah! Kita mencari pembenaran diri agar ada yang dijadikan kambing hitam sebagai biang dari kegagalan atau keterpurukan kita.
Sekiranya kita mau berpikir positif dan hati jernih, kita tidak bakal menyalahkan orang lain. Prioritas yang utama adalah kita berani untuk membedah sebab dari kegagalan, keterpurukan, atau sumber penderitaan itu.
Dengan merunut dan menganalisa, kita belajar menelusuri akar permasalahan, termasuk kekurangan dan kelemahan kita sendiri. Kita juga belajar menjadi rendah hati untuk menerima saran atau masukan dari orang lain. Kita tidak alergi dikritik. Karena kritik itu dapat kita gunakan sebagai bahan refleksi diri. Ibarat cambuk untuk memacu daya juang kita dalam meningkatkan hasil usaha.
Sekali lagi, jangan pernah bilang nasib itu ibarat roda berputar, karena nasib baik dan buruk itu kita sendiri yang memutuskan. Kita sendiri yang memutarnya.
Ketika kita tidak mau berbenah dan berubah, maaf, berarti kita sendiri yang menutup anugerah Allah.
Sehebat dan sepopuler apapun kita, jika tidak mau bekerja, bergerak, tidak berinisiatif, dan hanya berdiam diri, berarti akar masalahnya ada pada kita. Jangan bilang pasrah kepada Allah, jika kita hanya berdiam diri tanpa berbuat apa-apa. Berserah itu sejatinya kita diajak berjuang pantang menyerah untuk bergantung, mengandalkan, dan rela dibentuk seturut kehendak Allah.
Orang yang rendah hati itu hidupnya berorientasi mencari hikmat dari setiap peristiwa atau persoalan yang dihadapi. Karena rencana kita bukan Allah, tapi percayalah IA memberikan yang terbaik untuk kita. (MR)