Bangunan gereja yang melepaskan diri dari bentuk arsitektur Gothik model Eropa, tampaknya tak membuat arsitek Henricus M Pont gamang menghujamkan pondasi ke tanah di Pohsarang, Kediri pada 11 Juni 1936. Apalagi Romo Wolters, sebagai inisiator memberi makna filosofis yang mendalam tentang arti sebuah bangunan gereja dengan banyak simbolisme katekese iman Katholik Jawani.
Oleh EDDY J SOETOPO*
INILAH gereja Katolik Roma yang didirikan dalam lingkungan komunitas masyarakat beragama lain di Desa Pohsarang, Kecamatan Semen, Kediri, Jawa Timur, dan menjadi tempat berkontenplasi pada sang khalik, merenung diri jelang hari raya Natal. Berdiri sejak tahun 1936 atas inisiatif Romo Jan Wolters CM dengan dibantu arsitek terkenal di zamannya Henri Maclaine Pont. Tak pelak menjadi salah satu gereja lawas dengan arsitektur njawani.
Inilah gereja Katolik Roma yang didirikan dalam lingkungan komunitas masyarakat beragama lain di Desa Pohsarang, Kecamatan Semen, Kediri, Jawa Timur, menjadi tempat berkontenplasi pada sang khalik, merenung diri jelang hari raya Natal. Berdiri sejak tahun 1936 atas inisiatif Romo Jan Wolters CM dengan dibantu arsitek terkenal di jamannya Henri Maclaine Pont, tak pelak menjadi salah satu gereja lawas dengan arsitektur njawani.
Bila di beberapa tempat bangunan gereja dibuat menyerupai bangunan berarsitek gaya Gothic, gereja Pohsarang tidak demikian. Meski terdapat beberapa patung layaknya gereja di tempat lain, toh di Pohsarang masih menyisakan patung Pieta atau patung Maria sedang memangku Yesus yang baru diturunkan dari Salib.
Sentuhan arsitek Henri Macleine Pont dan room Jan Wolters CM yang memang mengabdi sebagai padri gereja dan sering blusukan ke kampung-kampung memberikan layanan pada masyarakat, tentu sangat memahami bentuk bangunan lawasan di Surabaya yang diinginkan umatnya. Itulah sebabnya, bantuk arsitektur bangunan gereja Pohsarang ‘membumi’ sebagai rumah Gusti Allah yang wejowantahkan menjadi rumah ibadat kaum Kristiani.
Meski tak dapat dielakkan isen-isen di dalam bangunan gereja Pohsarang, dulunya, juga dikompliti pelbagai patung dan ornamen pahatan bebatuan bergaya Vatikan, toh sah-sah saja menjadi ikon gereja njawani-roma. Termasuk dibangun tempat bagi umat yang akan melantunkan mazmur pujian di dalam gereja.
Bagi yang belum pernah berkunjung ke Basilika Santo Petrus di Vatikan, keberadaan patung Pieta memang setali tiga uang dengan patung karya Michaelangelo di Roma. Di dirikan di atas sebuah tabernakel memang dirancang arsitek, Henri Macleine Pont, seperti pintu makam orang Yahudi yang menggambarkan Yesus sewaktu dimakamkan, dan kemudian bangkit setelah tiga hari kemudian. Sekarang tidak lagi dipakai, entah karena alasan apa tak ada yang mengetahuinya.
Dibangun di atas lereng gunung Wilis berada di ketinggian 400 meter, bagi pejiarah agamawi, kawasan gereja Pohsarang cukup nyaman buat leyeh-leyeh setelah ndogo atau sekedar mloka-mlaku menikmati hawa sejuk. Di musim hari perayaan keagamaan kaum Nasrani, Pohsarang menjadi jujugkan mengikuti kebaktian misa yang diadakan setiap hari.
“Semakin mendekati perayaan hari Natal atau Paskah, yang datang tidak hanya dari Kediri, tetapi justru lebih banyak dari luar kota,” tutur pemilik penginapan “Eyang Kakung” di seputar area gereja Pohsarang, “kebanyakan dari Jakarta, Manado, Jogya dan Solo maupun Surabaya.”
Bangunan gereja yang melepaskan diri dari bentuk arsitektur Gothik model Eropa, tampaknya tak membuat arsitek Henricus M Pont gamang menghujamkan pondasi ke tanah di Pohsarang, Kediri pada 11 Juni 1936. Apalagi Romo Wolters, sebagai inisiator memberi makna filosofis yang mendalam tentang arti sebuah bangunan gereja dengan banyak simbolisme katekese iman Katholik Jawani.
Tidaklah mengherankan bila Romo Wolters dijuluki sebagai “Rasul Jowo” atas dedikasinya dalam penempatan cinta kasih dan hormat terhadap budaya serta nilai-nilai kejawaan priyantun Jawi. Dalam konteks itu pulalah para misionaris Belanda itu larut ke dalam ‘Manunggaling Kawulo Gusti’ di Kediri. Tidaklah mengherankan bila keberadaan gereja katholik di Pohsarang semakin dikenal umat kristiani, tetapi juga masyarakat setempat.
Ketetapan hatinya untuk meneguhkan bangunan gereja yang ‘njawani’ itu pulalah yang membuat Romo Jan Wolters CM mejaga ruh Trinitas di gereja Pohsarang. Bentuk bangunan gereja Pohsarang yang menyerupai bentuk bangunan museum Trowulan, di Mojokerto, tidak membuatnya risau. Apalagi di museum Trowulan itu pulalah tersimpan peninggalan sejarah Kerajaan Majopahit, sebagai cikal bakal keberadaan kebudayaan tak ternilai. Sayangnya bangunan museum di Trowulan hancur pada tahun 1960.
Peletakan batu pertama gereja Pohsarang dilakukan oleh Mgr. Theophile de Backere CM, prefek Apostolik Surabaya saat itu. Layaknya rumah Joglo bergaya Jawa kuno yang membagi rumah menjadi dua bagian, bangunan induk dan pendopo; gereja Pohsarang pun juga demikian. Sewaktu pembangunan dimulai, Maclaine Pont membeberkan rancangan bahwa hiasan di dalam merupakan simbolisasi salib, mahkota duri, tulisan INRI, alpa dan omega juga terdapat monogram Kristus, paku dan nyala api.
“Paku, nyala api yang menjilat di sekeliling tengah dan tetesan darah pada kaki merupakan bagian dari iman Katolik yang terpenting,” ujar Maclaine Pont waktu itu. “Salib yang besar menjulang dengan megah di atas gereja yang kecil tergantung merpati perak di dalam gereja. Itu semua simolisasi Kristus.”
Bagi Anda yang mencermati secara seksama tentu akan melihat gambar kedua belas rasul pondasi gereja Pohsarang didirikan. Tak bisa dielakkan bangunan gereja ini merupakan simbolisasi Kitab Suci bagi umat yang sederhana dan tak dapat membaca tanda-tanda jaman. Bisa saja diibaratkan bangunan yang dibentengi batu kali dibuat bersama warga masyarakat di desa, mengibaratkan sebuah bangunan untuk pisowanan agung ketika menghadap sang raja semesta alam.
“Begitulah juga di sini orang Jawa Katolik, yang harus menunggu kalau hendak menghadap Kristus, Raja dari segala raja, pertama harus melewati gapura agar dapat mencapai istana sang raja kehidupan, Di tempat yang suci itu, yang sudah terpisahkan jauh dari dunia biasa, dia akan merasakan lebih dekat dengan Tuhan, dia akan berlutut menunduk di depan “porta coeli” – “pintu Surga”. ***
*Penulis adalah jurnalis senior dan peneliti. Tinggal di Kota Solo