Untuk mewujudkan gagasannnya, sutradara kondang AADC (2001) dan mendadak Dangdut (2006) ini, dia sudah merendahkan diri, tapi tetap saja “dilepeh lepehin” . Dia kini memulai mewujudkan, meski tanpa uang.
Oleh AYU SULISTYOWATI
BILA tak ada pandemi bisa jadi minggu lalu saya akan bertemu Rudi Soedjarwo di rumahnya yang luas, sambil menyeruput teh panas. Barangkali berkenalan dengan anak-anaknya yang terakhir saya lihat masih balita. Tapi, dunia sudah berubah. Atau tepatnya, sedang berubah. Pandemi membuat kita harus ‘berjarak’, meski faktanya kami bahkan tinggal di propinsi yang berbeda.
Toh sore di mana-mana tetap sama. Lewat bantuan zoom, kami sedikit bernostalgia. Tidak, kami tak membahas film-filmnya; AADC, Mengejar Matahari, Sembilan Naga atau Mendadak Dangdut. Lagipula, barangkali ia bosan dengan pertanyaan dan topik yang sama setelah dua dekade lebih di dunia yang sama.
Maka kami pun fast forward ke proyek ‘movement‘-nya. “Ini semua gue bikin sendiri dari sistemnya,” ujarnya mulai bercerita tentang kegiatannya sekarang. “Maudi – kenal” begitu nama aplikasi yang ia luncurkan Februari 2021 silam. Bila di-klik, di situ ada banyak pilihan bagi siapa pun yang punya bakat seni tertentu dari akting, film making, musik, menyanyi sampai menulis. Ia juga menyiapkan semua infrastruktur bagi siapa pun yang tertarik ikut ‘gerakan’ ini.
“Jadi fokusnya bagaimana dengan keterbatasan kita saat ini bisa tetap produktif, bisa mengembangkan dan memberdayakan,” terang Rudi. Output-nya tetap film. Bisa film panjang, pendek, atau bahkan hanya satu adegan yang dalam dan emosional. “Semua ada di sini, mau music, sound, desain, seni budaya hingga produk-produk lokal integrated dalam satu proyek. Karena ini audio visual platform,” lanjutnya”.
Rudi, 49, merasa tidak perlu menunggu sampai yang men-download aplikasinya sampai satu juta orang dulu. Ini soal kualitas bukan kuantitas. “Sebenarnya kita sudah terlambat lho begini. Harusnya sudah dulu-dulu,” gumannya.
Ia menyadari kalau bakat-bakat di dunia film terutama masih itu-itu saja. Ia menegaskan proyek “Maudi-kenal” ini adalah pemberdayaan.
Sekarang , dengan bantuan aplikasi dan tehnologi, ia bisa mengarahkan orang dari jauh. Bukan cuma akting, bahkan bisa mengarahkan sinematografer mengambil gambar. “Apalagi dengan kondisi pandemi, kita mau tak mau harus menjaga jarak, dan menghindari berkumpul dengan banyak orang. Selain itu ia juga menawarkan kelas online one on one via Zoom yang hasilnya di-upload di Youtube. Semuanya gratis.
“Uang itu hanya pemicu,” tandasnya.
Tak berarti ia tak butuh uang dan gerakannya ini juga tak perlu duit. “Tapi yang gue lakukan ini kan pemberdayaan. Kenapa harus menunggu ada dana? Mulai saja dulu!”
“Ternyata di saat terpuruk, saya malah menemukan orang yang benar benar tulus“.
SEMULA Rudi – dengan pengalaman 20 tahun sebagai sineas – sempat berpikir sebaliknya: ada uang dulu baru bergerak. Bahkan ia sempat keliling-keliling ke para calon investor yang rata-rata menertawai proyeknya ini. “Gue dilepeh-lepeh.” Tapi ia tetap mencoba berjuang mencari dana kala itu. “Gue telpon PH-PH besar minta kerjaan.” Benar-benar tak mudah.
Kepada Seide.id, yang khusus mewawancarainya, dia bahkan mengaku bukan hanya sudah merendahkan diri. Ia melakukan usaha yang dulu tak pernah terbersit di benaknya. “Gue sudah sampai melacurkan diri,” akunya. Tapi semesta belum berpihak padanya. “Lagipula mencari investor yang satu frekuensi itu luar biasa susah.”
“Target kita nggak muluk-muluk. Itu juga yang gue katakan ke teman-teman. Kalau kita bisa menemukan, mengembangkan dan memperkenalkan satu bakat, itu sudah bagus banget. Artinya program ini bermanfaat dan bisa merubah hidup orang tersebut. Nah, setelah itu, ia bisa terus mencari bakat-bakat lainnya. Semakin banyak tentunya semakin bagus.
“Kalau diduitin dulu berarti gue yang dapatin manfaatin dulu. Fokusnya bisa bergeser. Dan kalau kita sudah dibayar, malah jadi tak bisa membuktikan kalau gerakan ini murni demi manfaat.”
Ia percaya suatu saat Tuhan atau malaikat akan menanyakan apakah kita sudah melakukan kebaikan, memberi manfaat pada orang lain. Bukan seberapa banyak materi yang kita miliki. “Saat ini gue nggak punya uang. Boleh cek isi ATM kalau nggak percaya.”
Saya tertawa, sedikit sumbang. Saya pernah ada di posisinya belasan tahun silam. “Selama ini gue barter untuk tetap hidup. Yang penting anak-anak gue sekolah dan tetap bisa makan.”
“Gue sedang diuji Allah, ” kata putra mantan Kapolri, Jend. Pol. Anton Soedjarwo ini.
Begitu Rudi menyebut rentetan kejadian yang menimpa dirinya. Setelah bercerai dan bangkrut, ia diserang stroke. Bisnisnya juga gagal. Bahkan ia ditipu saat melakukan jual beli rumahnya. Akibatnya, saat ini ia nyaris tak memegang uang sepeser pun.
Mendadak saya teringat sebuah quote terkenal dari film Fight Club (1999): “It’s only after we’ve lost everything that we’re free to do anything,” Ketika kita sudah kehilangan segalanya, maka kita bebas melakukan apa saja
“Stroke ini tamparan dari Tuhan, ” dia mencoba menangkap hikmahnya.
Stroke yang menimpanya dua tahun silam membuatnya sadar akan banyak hal. “Gue sadar gue dulu agak sombong dan arogan.”
Saat terbaring tak berdaya itu ia teringat kalau sudah seharusnya hidupnya berguna bagi orang lain. Bukan hanya terjebak pada kepentingan dirinya semata. Ia pun sempat flashback saat karirnya ada di puncak dulu. “Gue gagal karena terjebak pada permainan industri. Jujur aja, kalau inget gue jijik pada diri gue sendiri.”
Stroke memberinya banyak waktu untuk refleksi diri. Mencoba mengingat hal terbaik apa yang pernah ia lakukan dulu. Ia lantas sadar sejak dulu, kelebihannya adalah selalu ingin mencetak bakat-bakat baru. Dan ini satu hal yang tak bisa kita pungkiri. Nama-nama terkenal macam Dian Sastro, Nicholas Saputra, Titi Kamal hingga Dwi Sasono bersinar ketika mulai bermain di filmnya.
“Berarti peran gue di dunia film beda. Mencetak bakat dan potensi baru selalu jadi semangat tersendiri saat menggarap film.” Semangat ini pula yang usung dalam ‘gerakan’ “Mau-di” yang ia jalankan saat ini.
“Sebenarnya kita sudah telat. Indonesia kan bangsa yang besar karena rakyatnya. Beragam, Dengan budaya yang sangat beragam pula, Itu harus diberdayakan!” lanjutnya berapi-api.
Maka ia tak mau buang waktu lagi. “Pandemi ini saat yang tepat buat bergerak. Dunia berubah. Dunia film juga berubah. Kita bisa re-set semuanya dari nol. Dari minus bahkan. Gara-gara pandemi, tak ada lagi film laku tak laku. Orang-orang cenderung menonton lewat streaming. Dan itu faktanya”
Ia mengakui sebagai sineas, mau tak mau terbawa pada opini film karyanya bagus atau tidak, disukai atau tidak. “Saat gue bikin film dulu, gue sempat terjebak seperti itu. Dan itu bikin blunder. Ketika kita bikin komedi, selalu ada yang lebih lucu. Bikin thriller pasti ada yang lebih tegang. Padaha, suka tak suka itu relatif.”
Kini ia merasa mindset-nya bila membuat film adalah sebagai alat komunikasi dan pemberdayaan. Tentu saja ia masih bermimpi menggarap film berkualitas, dengan bakat-bakat baru yang ia temukan. Ia sadar regenerasi itu penting.
Saya kenal Rudi belasan tahun silam, saat tanpa sengaja kami bertemu di rencana produksi sebuah biopic gagal. Tapi Rudi hari ini bukan Rudi yang kemarin. Perjalanannya seperti lebih berdimensi dan panjang. “Aneh gue merasa lebih bahagia sekarang.” Dan obrolan panjang dengannya kali ini membuat saya merasa hidup tak boleh gagal diperjuangkan. Seperti dalam film Se7en, saat Morgan Freeman mengutip Ernest Hemingway: “Dunia adalah tempat yang indah dan layak diperjuangkan.”
Link ‘Maudi-kenal’: https://youtube.com/channel/UC47AANTpuOFEQb12c4ZwdRA