Rumah Sejarah Rengasdengklok, Saksi Sejarah Kemerdekaan Republik Indonesia

Rengas Dengklok-05

Peristiwa Rengasdengklok adalah momen bersejarah di mana tokoh organisasi berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu-buru dalam memproklamasikan kemerdekaan.

OLEH YUDAH PRAKOSO R

JUMAT siang, 6 Desember 2024 usai Sholat Jumat, Desa Bojong, Rengasdengklok di Kabupaten Karawang Jawa Barat tidak begitu panas. Rintik gerimis mulai turun. Siuasana keramaian pasar malam di depan Kantor Kecamatan Rengasdengklok mewarnai keamaian khas desa di siang menjelang sore itu . Di sebelah baratnya, di pinggir Sungai Citarum tampak sebuah rumah tua. Kini rumah itu disebut sebagai Rumah Sejarah Rengasdengklok.

Peristiwa Rengasdengklok, 16 Agustus 1945, terjadi di rumah seorang petani keturunan Tionghoa bernama Djiauw Kie Siong. Rumah Djiauw Kie Siong terletak di Dusun Bojong, Rengasdengklok, Kabupaten Karawang. Adapun Djiauw Kie Siong adalah petani yang tinggal di sekitar Sungai Citarum. Djiauw Kie Siong mulai menempati rumah itu pada 1920.

Menurut Yanto, cucu almarhum Djiaw Kie Siong rumah itu belum pernah dipugar. Bangunan rumah, mulai dari lantai hingga bilik kamar, semua masih asli dan berusia lebih dari 100 tahun. Kini, rumah yang menjadi saksi sejarah Peristiwa Rengasdengklok itu, telah dijadikan sebagai cagar budaya. Adalah pasangan Yantyop dan Lany yng kini merawat rumah bersejarah itu. Yanto adalah cucu dari Djiaw Kie Siong.

Peristiwa Rengasdengklok merupakan aksi desakan terhadap Soekarno dan Mohammad Hatta yang dilakukan oleh sekelompok pemuda antara lain Sukarni, Wikana, dan Chaerul Saleh untuk segera memproklamasikan Kemerdekaan Republik Indonesia. Mereka semua merupakan anggota dari perkumpulan Menteng 31. Jiwa heroisme mereka tergerak setelah berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka yang tergabung dalam gerakan bawah tanah.

Aksi Penculikan Terhadap Dwi Tunggal

Pada tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno bersama dengan Fatmawati dan Guntur Soekarnoputra yang saat itu berusia 9 bulan, serta Mohammad Hatta, dibawa ke Rengasdengklok oleh Shodanco Singgih, seorang anggota PETA, dan sejumlah pemuda lainnya. Di Rengasdengklok, Karawang,\selama 15 jam itu para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia.

Soekarno dan Hatta menolak tuntutan tersebut. Sebelumnya, telah ada kesepakatan antara golongan tua (Soekarno, Hatta, dan Mr. Achmad Soebardjo) dengan golongan muda, mengenai waktu yang tepat untuk melaksanakan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Namun, para pemuda tetap mendesak Soekarno dan Hatta untuk segera mempercepat proklamasi kemerdekaan. Meskipun menghadapi desakan, Soekarno dan Hatta tetap tidak mengubah pendiriannya.

Hal itu karena tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC.

Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI.

Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.

Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tetapi kantor tersebut kosong.

Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo.

Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 Jakarta guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.

Chairul Saleh dan teman-temannya yang berada di Jakarta kemudian menyusun rencana untuk merebut kekuasaan. Namun, rencana yang mereka susun tidak berhasil karena tidak semua anggota PETA mendukungnya.

Tujuan para pemuda membawa Soekarno dan Hatta sebenarnya memiliki maksud yang baik, yaitu agar Soekarno dan Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang.

Menurut Dr. Hj. Yuni Satia Rahayu, SS., M.Hum., anggota Komisi A DPRD Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dari Fraksi PDI Perjuangan, yang pernah meyelaesaikan studi S1 nya di Departemen Sejarah FIB UGM yang Jumat siang 6 Desembe 2024 mengunjungi Rumah Sejarah Rengasdengklok, hubungan Soekarno dan Hatta dengan penguasa Jepang saat itu bisa dikatakan sebagai kedekatan, tetapi sebagai seorang pimpinan perjuangan dalam persiapan kemerdekaan merupakan hubungan diplomasi. Kedekatan pun juga tidak bisa dikategorikan sebagai hubungan yang positif maupun negatif.

Berita yang menyebutkan bahwa Jepang akan menyerah kepada sekutu telah terdengar. Meskipun demikian, para pemuda terus berusaha meyakinkan Soekarno dengan mengatakan bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang Indonesia, termasuk golongan muda, telah siap untuk melawan Jepang apapun risikonya.

Peristiwa Rengasdengklok adalah momen bersejarah di mana tokoh organisasi berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu-buru dalam memproklamasikan kemerdekaan.

Sebelumnya, Bung Karno dan Bung Hatta merencanakan bahwa proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia akan diumumkan pada Jumat, 17 Agustus 1945, di Lapangan Ikada (kini Monas), atau di rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakara.

Namun, akhirnya diputuskan untuk membacakan proklamasi di rumah Bung Karno. Keputusan ini diambil karena ada pengumuman acara lain di Lapangan Ikada, dan tentara Jepang berjaga-jaga untuk mencegah potensi kericuhan di sana, termasuk saat pembacaan naskah proklamasi.

Oleh karena itu, rumah Bung Karno menjadi lokasi yang lebih aman dan sesuai. Sebelumnya, Bung Karno dan Bung Hatta bersama-sama menyusun teks proklamasi di Rengasdengklok. Teks tersebut disusun di rumah seorang Tionghoa, yaitu Djiaw Kie Siong.

Pada tanggal 16 Agustus 1945, bendera merah putih, sebagai bendera pusaka Indonesia, sudah dikibarkan oleh para pejuang Indonesia di Rengasdengklok sebagai persiapan menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.

Sementara itu para pemuda di Jakarta belum mendapatkan kabar terkini dari Rengasdengklok. Jusuf Kunto dikirim untuk berunding dengan para pemuda di Jakarta, tetapi ia hanya berhasil bertemu dengan Wikana dan Mr. Achmad Soebardjo.

Mereka berdua berangkat ke Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno, Mohammad Hatta, Fatmawati, dan Guntur Soekarnoputera yang masih berusia 9 bulan.

Sesampainya di Rengasdengklok, Achmad Soebardjo mengajak Bung Karno dan Bung Hatta untuk segera kembali ke Jakarta guna membacakan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.

Pembacaan proklamasi tersebut kemudian dilakukan di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, yaitu di rumah Bung Karno. Pada tengah malam tanggal 16 Agustus, rombongan dari Rengasdengklok tiba di Jakarta untuk melanjutkan peristiwa penting berikutnya.

Hasil Peristiwa Rengasdengklok

Pada tanggal 17 Agustus 1945, peristiwa bersejarah mencapai puncaknya ketika pernyataan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia secara resmi dikumandangkan. Teks proklamasi ini disusun oleh sejumlah tokoh besar, termasuk Soekarno, Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, Sudiro, dan Sayuti Melik di rumsh Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol no 2 Jakarta.

Dalam penyusunan teks proklamasi ini Sayuti Melik memiliki peranan penting. Ia bertugas mengetik naskah menggunakan mesin tik yang diambil dari kantor perwakilan angkatan laut Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler.

Golongan pemuda juga turut serta dalam perundingan penyusunan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Konsep teks proklamasi itu sendiri ditulis oleh Soekarno, yang dijuluki sebagai proklamator kemerdekaan Republik Indonesia karena ia menjadi orang yang menulis dan membacakan teks proklamasi.

Pada 17 Agustus 1945, acara pembacaan proklamasi dimulai di kediaman Soekarno, yaitu di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, pukul 10.00. Soekarno membacakan teks proklamasi dengan pidato singkat dan tidak menggunakan naskah tertulis. Acara ini dihadiri oleh beberapa tokoh penting seperti Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani, dan Trimurti.

Setelah pidato singkat dan pembacaan teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia oleh Soekarno selesai, bendera merah putih yang dijahit oleh Ibu Fatmawati dikibarkan. Sambutan juga disampaikan oleh Soewirjo, yang saat itu menjabat sebagai wakil walikota Jakarta, serta sambutan dari Moewardi selaku pemimpin Barisan Pelopor.

Bendera pusaka yang dikibarkan pada saat itu, kini disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional. Bendera merah putih tersebut tetap menjadi bendera bangsa Indonesia hingga saat ini, untuk mewakili semangat dan kemerdekaan negara Indonesia.

Peristiwa ini menjadi tonggak sejarah yang mengukuhkan kemerdekaan Republik Indonesia yang tidak bisa dipisahkan dari Peristiwa Rengasdengklok, sebuah momen bersejarah yang diabadikan dan dirayakan setiap tahun pada tanggal 17 Agustus. ***

SEIDE

About Admin SEIDE

Seide.id adalah web portal media yang menampilkan karya para jurnalis, kolumnis dan penulis senior. Redaksi Seide.id tunduk pada UU No. 40 / 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Opini yang tersaji di Seide.id merupakan tanggung jawab masing masing penulis.